G20, Climate Change and Sustainable Development

In 2017, I participated in the selection of Indonesian delegation for the Y20 Summit in Berlin. Although I was unable to pass the final round of interviews, I was grateful that I have been chosen as the finalists from 1000+ registrants. Below is the short essay/position paper I wrote for the selection round, writing about the G20, Climate Change and Sustainable Development.


 

The G20 and its member countries are a formidable force, not just economically but also in terms of climate impact. The G20 represents 74% of the world’s GDP, but they also represent 77% of the world’s annual carbon output. As such, an effective approach by the G20 to reduce its carbon footprint would be critical to reaching the global goals of the Paris Agreement as well as the Sustainable Development Goals. Moreover, actions done by the G20 countries can set a precedence for other countries outside the G20 to benchmark and follow.

As outlined in the G20 Action Plan for the 2030 Agenda for Sustainable Development, it is imperative for G20 countries to promote sustainable development for all. However, despite this common goal, countries have different national priorities, hence the principle of “common but differentiated responsibility”. Thus, different approaches must be applied to different groups of countries – in which this essay categorises into two groups – to accommodate the varying priorities.

For developing nations, the drive is on strong economic growth to fulfil the basic needs for citizens. Aligning this to climate change goals, this economic drive must be realized through “green growth” – achieving economic growth in a climate-friendly manner, among others by using greener energy sources. This will ensure energy security and sustainability, achieve their Nationally Determined Contributions (NDC) whist also opening opportunities for partnership with international organizations or developed countries with tighter environmental requirements for aid.

Developed nations, on the other hand, set their goals on improving the efficiency of their energy-intensive economies, and lead the global transition to renewable energy. With greater access to capital, renewable energy industries have begun to flourish in developed nations, allowing them to become thought and technology leaders in the global proliferation of renewable energy.

Understanding the two different objectives yet aiming to create a cooperation within the member states, and in line with the 2016 G20 Voluntary Action Plan on Renewable Energy, articles 48-49 of the Addis Ababa Action Agenda, and the efforts of the UNFCCC-established Green Climate Fund, we support a partnership between the public and private sectors to promote the development and use of renewable energy. We propose to build on the 2016 G20 Voluntary Action Plan and establish a G20 “Green Zone”, to:

  • Attract green investments through fiscal incentives, such as a reduction in applied taxes for investments on renewable energy projects
  • Encourage sharing and replication of best practices for renewable energy among member states
  • Support the transfer of technology for renewable energy

Some member states have individually introduced similar fiscal incentives in the past. Member states can learn from the success of China in attracting almost 30% of the world’s renewable energy investment in 2014 through tax reductions and subsidies. A joint effort by the G20 as opposed to individual countries would amplify the potential for success, especially with the outsized influence of the G20 on the world’s economy and climate.

 

Cahyawardhani, 2017

#15HariCeritaEnergi: Sebuah perjalanan untuk energi di masa depan, dimulai dari sekarang, dimulai dari kita.

Dalam dua minggu silam kita sudah membahas berbagai macam topik yang berhubungan dengan sektor energi. Kita berangkat dari pertanyaan mendasar mengenai peran energi bagi suatu bangsa – di Indonesia, selayaknya di negara lain, penyediaan energi merupakan kewajiban pemerintah yang diamanatkan dalam konstitusi dan Undang-Undang. Energi merupakan bagian vital dari kehidupan, tanpanya, sektor lainnya tanpa terkecuali tidak dapat bergerak. Ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat dengan energi, dimana pertumbuhan ekonomi tidak mungkin tidak disertai dengan pertumbuhan kebutuhan energi, dan sebaliknya, pertumbuhan dan ketahanan energi yang kuat akan berujung kepada pertumbuhan dan ketahanan ekonomi yang kuat pula.

Energi juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembangunan manusia – untuk mendapatkan standar hidup yang lebih layak (misalnya, akses listrik, akses air bersih, dan kesehatan) diperlukan pula energi yang mumpuni dan andal. Sudah ada bukti dari studi yang dilakukan Pasternak (2000) yang melihat hubungan langsung antara indeks pembangunan manusia (HDI) dan pemakaian listrik, dimana dibutuhkan konsumsi listrik per kapita minimal 4.000 kWh untuk mencapai indeks 0,9 atau nilai HDI yang dimiliki oleh negara-negara maju.

Mengingat tidak dapat diabaikannya pemenuhan kebutuhan energi tersebut, bukan suatu pertanyaan lagi apakah pemerintah harus memikirkan cara-cara agar dapat menyediakan energi yang andal dan sesuai dengan proyeksi pertumbuhan kebutuhan. Namun, kita tidak dapat mengabaikan pula kenyataan bahwa pada saat ini terdapat permasalahan yang timbul karena emisi gas rumah kaca yang terperangkap dalam atmosfir, dan mengancam keberlangsungan dan kelayakan hidup di masa depan. Karena itulah diperlukan suatu strategi pemenuhan energi lain yang tetap dapat memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat, tapi merupakan sumber energi yang berkelanjutan sehingga tidak memperparah dampak negatif perubahan iklim.

Menjawab tantangan tersebut, pengembangan energi terbarukan menjadi jawabannya, didukung pula oleh inisiatif pengurangan emisi dan penghematan energi.

Energi terbarukan yang berarti energi yang dihasilkan dari proses alam yang berkelanjutan dan berasal dari sumber daya yang dapat diperbaharui. Contoh dari energi-energi ini adalah tenaga surya, tenaga angin, dan biomassa.

Walau terdengar seperti energi baru, penggunaan sumber energi ini untuk menghasilkan energi bukanlah hal yang baru! Tengok saja tenaga air, pembangkitan listrik menggunakan aliran air sudah digunakan di Indonesia hampir seratus tahun lamanya! Begitu pun dengan pembangkitan listrik menggunakan energi biomassa – sebuah sumber energi yang dihasilkan dari material biologis atau terjadi dari proses biologis – seperti misalnya, penggunaan kayu bakar atau lemak hewani dalam penggunaan tradisional.

Pengembangan energi terbarukan yang jamak digunakan dan paling cepat pengembangannya merupakan pengembangan energi surya dan angin, dimana karena inovasi terus menerus dan permintaan yang terus meningkat, biaya produksi pengembangan energi tersebut terus turun dan meningkatkan lagi penggunaan sumber energi tersebut dalam jaringan listrik dan bauran energi dunia.

Selain sumber energi terbarukan yang lebih sering didengar, banyak juga sumber-sumber energi terbarukan yang lebih “nyeleneh”, seperti misalnya penggunaan sampah untuk menghasilkan energi. PLTSa memiliki potensi untuk dikembangkan terutama di kota-kota besar di Indonesia, mengingat banyak sampah yang dihasilkan setiap harinya, yang ujung-ujungnya malah tidak terurus dengan baik dan menimbulkan masalah kesehatan. Dengan penanganan yang lebih baik, sampah yang kelihatannya tidak berguna ini dapat dimanfaatkan kembali menjadi listrik yang dapat mendukung kota asal sampah tersebut!

Inovasi juga terus dilakukan di bidang-bidang energi lain yang skalanya lebih kecil – misalnya, percobaan prototip layang-layang yang dapat menggantikan turbin angin raksasa untuk menghasilkan listrik, jalanan yang menghasilkan listrik menggunakan konsep piezoelektrik, atau bahkan pemanfaatan gaya gravitasi untuk mendayai lampu yang dapat disebarkan ke daerah-daerah terpencil di berbagai penjuru dunia. Inovasi yang terus menerus dan kreatif ini bisa saja menjadi sumber energi potensial yang dapat mengaliri listrik untuk komunitas-komunitas dan lingkungan sekitar kita.

Melihat berbagai jenis potensi dan sumber energi yang dapat dikembangkan, Indonesia pun tidak kalah potensial – terdapat total 700 GW potensi energi terbarukan di Indonesia! Jika dikembangkan dan dikelola dengan baik, aspirasi bauran energi pemerintah yang tertuang dalam Rancangan Umum Energi Nasional bukan tidak mungkin untuk dicapai.

Toh, banyak lho contoh-contoh negara lain yang telah berhasil mengembangkan sektor energi terbarukannya – dan dalam kasus-kasus ekstrim seperti Islandia, 100% dari listriknya berasal dari sumber energi terbarukan! Potensi yang ada, didukung oleh peraturan yang ramah investasi, sebuah masa depan yang didukung oleh sumber energi terbarukan.

Perlu secara cermat kita perhatikan aspek non-teknis dan komersial dalam pengembangan energi terbarukan. Kadang, kita terlalu fokus pada area riset dan pengembangan secara teknis, kita mengabaikan aspek komersial yang malah dapat menjadi faktor penentu sebuah investasi di sektor energi terbarukan. Biaya pengembangan energi terbarukan yang dapat dibilang relatif lebih mahal dibanding tenaga fosil seperti batubara dan minyak bumi membuat beberapa pemerintahan atau investor lebih memilih tenaga fosil saja ketimbang sumber energi terbarukan. Kabar baiknya ialah biaya pengembangan EBT terus turun, membuat keekonomian proyek semakin membaik. Lalu, dibutuhkan pula kebijakan yang bukan dalam bentuk insentif fiskal atau berhubungan dengan keekonomian pula – misalnya dengan adanya struktur pengelolaan yang lebih kuat atau jaringan listrik yang lebih pintar mengintegrasikan berbagai sumber energi, prospek energi terbarukan menjadi terbuka lebih besar.

Untuk membantu investor, pemerintah dapat memperkenalkan paket-paket kebijakan atau insentif yang akan membuat iklim investasi kian ramah – kita masih punya PR dalam hal ini. Dalam survei Renewable Energy Country Attractiveness Index yang dikeluarkan oleh EY, nama Indonesia belum muncul di daftar-daftar atas. Jika pemerintah dapat terus mengevaluasi kebijakan yang ada dan membandingkan keatraktifan negara dengan negara lain agar investor tertarik untuk memilih berinvestasi di Indonesia, “potensi” akan berubah menjadi “realisasi”!

Selain mengembangkan energi terbarukan, kita juga dapat memilih menggunakan cara menurunkan emisi, baik dengan teknologi kompleks yang bernama Carbon Capture and Storage atau hal-hal sederhana yang dapat kita lakukan sehari-hari melalui konservasi energi.

CCS adalah suatu teknologi dimana fasilitas penghasil energi seperti kilang LNG atau pembangkit listrik yang menghasilkan karbon dioksida, diberikan suatu modul atau fitur tambahan dimana karbon dioksida yang dihasilkan dari fasilitas tersebut dapat ditangkap dan “ditanam” kembali ke dalam tanah. Praktis, karbon dioksida yang tadinya akan keluar ke atmosfir akan diambil lagi dan dimasukkan ke dalam lapisan tanah sehingga tidak memperparah isu yang timbul karena emisi karbon dioksida yang berlebih.

Jika CCS terdengar seperti suatu cara yang tidak mungkin dilakukan oleh pribadi, yuk kita tengok apa yang saya dan anda sebagai individu bisa lakukan untuk membantu mencapai pembangunan energi berkelanjutan!

Cara yang palnig mudah dan aplikatif bagi inidividu ialah dengan menghemat energi! Sederhana bukan? Dengan menghemat energi yang kita pakai, kita sudah mengurangi sisi permintaan dari neraca energi, yang berarti lebih sedikit energi yang dibutuhkan untuk kehidupan yang tetap layak di masa kini dan di masa depan. Misalnya, dengan memilih menggunakan lampu LED dibandingkan lampu pijar, kita sudah membantu menurunkan daya yang dibutuhkan untuk memberi tingkat penerangan yang sama. Dengan mendesain tempat tinggal kita untuk mengadopsi desain yang lebih ramah lingkungan dengan pencahayaan dan sirkulasi udara alami, misalnya, kita menurunkan kebutuhan atas peralatan rumah tangga untuk kenyamanan hidup yang layak – dan sebagai bonusnya, menurunkan tagihan listrik bulanan!

Dalam skala industri, banyak yang bisa dilakukan, seperti misalnya mendesain fasilitas produksi kita agar sesuai dengan standar bangunan hijau. Bukan hanya memilih komponen-komponen yang lebih efisien energi, kantor-kantor juga dapat menggunakan energinya secara lebih optimal, mengingat bahwa sudah ada sistem teknologi informasi yang dapat digunakan untuk konservasi energi komersial. Untuk lebih mempercepat dan mendukung pengembangan bangunan hijau dalam sektor komersial, pemerintah sudah melakukan langkah awal dengan mengeluarkan kebijakan mendukung bangunan hijau, seperti misalnya Peraturan Menteri PUPR No. 2/2015 tentang Bangunan Hijau.

Melihat semua kemungkinan yang dapat kita realisasikan diatas, kita dapat melihat bahwa untuk merealisasikan pengembangan energi berkelanjutan di masa depan, kita tidak hanya dapat mengandalkan satu atau dua pihak tertentu. Pemerintah, investor swasta di bidang energi, badan usaha milik negara pengelola energi, sektor industri, dan bahkan kita sebagai pengguna akhir, memiliki perannya masing-masing dalam membuat pembangunan energi yang berkelanjutan dan andal di masa depan.

Jika masing-masing pemangku kepentingan dapat melakukan kewajibannya dengan baik, serta adanya diskusi yang sehat dan konstruktif diantara semua pemangku kepentingan tersebut, tentulah sebuah masa depan dimana energi dapat dihasilkan dengan lebih baik dan bertanggung jawab, dan tidak mengkompromikan kebutuhan energi dan kelayakan hidup kita.

Mari, kita semua lakukan peran kita masing-masing!

__

Hari terakhir dari #15HariCeritaEnergi!

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!

Cara Unik untuk Mengurangi Tagihan Listrik Rumah Anda!

Beberapa hari terakhir kita sudah membahas tentang pentingnya konservasi listrik dan juga implementasinya melalui sistem green building atau bangunan hijauMemang sistem bangunan-bangunan hijau sangat diperlukan untuk secara otomatis mengurangi penggunaan listrik yang berlebih. Bagi perusahaan-perusahaan atau industri besar tersebut, tanpa sadar, dengan investasi awal yang mungkin sedikit lebih banyak, mereka sudah berkontribusi secara positif terhadap pengembangan energi berkelanjutan – dan sebagai bonus, dalam jangka panjang mereka dapat mengurangi biaya tagihan listrik mereka. Lantas bagaimana dengan kita sehari-hari? Bagaimana kita dapat menerapkan konsep efisiensi dan konservasi energi di rumah sekarang?

Kita sering mendengar ada banyak cara-cara mudah untuk memaksimalkan penggunaan listrik di rumah seperti mengganti bohlam lampu pijar dengan bohlam LED yang lebih efisien, atau menggunakan alat-alat rumah tangga seperti kulkas, mesin cuci, dan televisi yang menggunakan lebih sedikit listrik. Nah, hari ini kita akan membahas tiga cara unik untuk mengurangi pemborosan listrik yang lebih jarang dibahas orang namun memiliki dampak yang cukup besar terhadap pemakaian listrik rumah tangga!

Jangan lupa ya, dengan mengikuti cara-cara dibawah ini, bukan hanya kita telah membantu mengonservasi energi, namun kita juga dapat mengurangi tagihan listrik rumah kita, lho!

Mematikan alat-alat elektronik sepenuhnya.

Sering kali kita mematikan televisi, komputer, pendingin ruangan, dan alat-alat elektronik hanya sampai mode stand-by. Kadang kita berpikir untuk membiarkannya dalam mode stand-by agar jika kita kembali lagi ke rumah setelah aktivitas di luar, mudah bagi kita untuk langsung menikmati program favorit di televisi atau langsung mendinginkan kamar. Untuk televisi, biasanya mode ini memiliki indicator lampu LED merah di bagian power; untuk komputer, biasanya ada beberapa lampu LED yang masih menyala, menandakan komputer belum 100% dalam keadaan mati.

Memang jarang kita perhatikan, tapi tahukah anda bahwa mode ini memakan energi listrik dengan jumlah yang cukup besar? Dalam keadaan stand-by, alat-alat elektronik ini hanya diam mengonsumsi energi menunggu perintah dari remote control kita tapi tetap menggunakan daya untuk menangkap dan “menunggu” sinyal dari kita. Ternyata, mode ini masih memakan sekitar 10% dari konsumsi listrik saat dalam kondisi menyala! Bayangkan bila televisi kita dirumah yang memakan konsumsi sekitar 500W ternyata masih memakan 50W saat tidak digunakan.

Ada banyak cara untuk mengurangi penggunaan alat-alat kita agar tidak mengonsumsi stand-by power, dan cara yang paling mudah tentunya adalah mematikan alat-alat tersebut sepenuhnya, langsung dari sumber listriknya. Secara praktis, kita tidak perlu mencabut kabel satu per satu, karena sekarang ini sudah banyak teknologi sederhana yang dapat mematikan alat-alat elektronik langsung dari sumbernya, misalnya saklar dengan tombol on/off untuk colokan atau kabel roll, dan steker listrik. Dengan hanya menekan satu tombol tersebut, kita bisa mematikan alat-alat elektronik tanpa harus mencabut dan memasang colokan listrik dari alat-alat elektronik kita saat kita ingin menggunakannya lagi.

Tidak terlalu susah bukan? Hanya satu langkah tambahan dari kebiasaan kita sehari-hari yang membiarkan alat elektronik tersebut dalam keadaan stand-by. Walau awalnya mungkin terasa berat dan banyak terlupa, lambat laun kita akan terbiasa. Kuncinya hanya satu, yaitu: mulailah! Kebiasaaan ini harus kita galang dalam rumah tangga kita agar dapat mengurangi pembuangan energi yang sia-sia dari standby power.

Menggunakan solar water heater & mengurangi debit shower head.

Beberapa dari kita terbiasa dengan mandi menggunakan air hangat. Kadang untuk mengatasi kemacetan kita harus bangun amat pagi dan terasa dingin jika mandi di pagi hari, dan akhirnya memilih untuk memasang pemanas air agar dapat menggunakan air hangat di pagi hari. Namun, perlu diingat bahwa penggunaan listrik untuk memanaskan air cukup besar! Menurut Department of Energy USA, pemanas air merupakan pemakai listrik terbesar kedua dalam tagihan bulanan kita.

Banyak jenis pemanas air yang sekarang banyak dijual – mungkin yang paling banyak digunakan ialah tipe storage dimana air panas disimpan di dalam sebuah tank dan tankless atau tankless coil yang tidak menggunakan tank namun langsung memanaskan air saat keran dinyalakan menggunakan listrik. Tapi tahukah anda bahwa pemanas air tipe storage tidak efisien karena terdapat stand-by heat loss? Air yang sudah dipanaskan karena tidak terpakai otomatis akan terbuang panasnya dan perlu dihangatkan kembali, dan ia pun menggunakan daya ketika tidak digunakan. Begitupun dengan tankless atau tankless coil. Karena tipe ini memiliki batasan yaitu hanya dapat memanaskan air sekitar 6-15 liter per menit, agar terus panas diperlukan beberapa pemanas agar air hangat selalu tersedia.

Lantas, bagaimana cara mengatasinya? Cobalah gunakan solar water heater, atau pemanas air menggunakan panel surya!

Mari kita simak bagaimana solar water heater bekerja:

Memang apa manfaat solar water heater dibandingkan tipe lainnya? Tipe ini 50% lebih efisien daripada pemanas air gas atau listrik!  Solar water heater memiliki efisiensi harga yang cukup baik. Banyak sistem solar water heater juga memiliki sistem penyimpanan untuk air panas agar dapat memasok air panas pada sore ataupun malam hari. Ditambah lagi, sumber energinya merupakan tenaga surya yang merupakan sumber energi terbarukan!

Memang, solar water heater mungkin lebih mahal dibandingkan tipe pemanas air lainnya. Namun, karena teknologi panel surya yang semakin murah, bukan tidak mungkin untuk pemanas air tenaga surya ini untuk terus bertambah murah.

Tapi tenang saja, ada cara lain yang lebih murah untuk mengurangi pemakaian listrik yang ditimbulkan dalam proses pemanasan air, yaitu mengganti shower head. Dengan mengganti menjadi shower head yang mengeluarkan debit air yang lebih rendah, secara tidak langsung kita akan menghemat jumlah air panas yang digunakan. Menggunakan shower head dengan debit air rendah menghemat air sebesar 25-60%! Secara tidak langsung, selain menghemat listrik untuk memanaskan air, kita juga menghemat air – sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui!

Membuat desain rumah yang ramah lingkungan.

Pilihan terakhir dapat digunakan pada tahap awal ketika kita membangun rumah kita, atau saat kita merenovasi rumah. Banyak, lho, cara-cara menghemat listrik dengan memanfaatkan desain yang pintar dan hijau di rumah kita!

Kamar dengan pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik. Sumber: freshome.com

Misalnya dengan pencahayaan alami. Dengan membuat jendela-jendela yang lebih banyak dan sesuai dengan pencahayaan alami lokasi rumah anda, anda dapat mengurangi biaya listrik karena secara otomatis anda akan memerlukan lebih sedikit cahaya dari lampu. Salah satu cara adalah dengan memiliki jendela yang besar agar cahaya matahari bisa masuk dengan leluasa, atau memiliki jendela di tempat tinggi misalnya pada langit-langit rumah anda. Contoh lainnya ialah mendesain rumah dengan sirkulasi udara yang baik. Selain baik untuk kesehatan anda karena udara terus berganti, dengan sirkulasi udara yang baik, praktis penggunaan pendingin ruangan atau AC akan berkurang.

Cara lain adalah dengan memakai peralatan rumah tangga yang hemat energi sejak awal. Dengan sengaja membeli alat-alat yang bersertifikat ”Energy Star”, anda telah memilih peralatan yang hemat energi dan praktis memakai lebih sedikit listrik pada jangka panjang. Mungkin awalnya peralatan ini akan terlihat sedikit lebih mahal dari pilihan lainnya, namun pikirkan juga dampak jangka panjangnya – investasi yang lebih mahal di awal, namun tagihan listrik bulanan anda akan berkurang! Toh, peralatan ini, seperti kulkas, mesin cuci, dan televisi, anda pakai setiap hari. Jadi, tidak akan rugi membeli peralatan rumah tangga yang hemat energi.

__

Selain ketiga cara diatas, tentu masih banyak cara-cara lainnya. Misalnya dengan mematikan lampu dan AC ketika keluar dari ruangan, hanya menggunakan lampu mulai dari akhir senja atau malam hari saja, dan banyak lagi. Banyak dari kiat-kiat tersebut memerlukan tekad dan komitmen dari kita untuk mengubah kebiasaan kita sehari-hari. Ingat, walaupun awalnya terasa berat, tapi lambat laun akan menjadi kebiasaan yang bermanfaat bagi kita, dan bahkan bagi lingkungan!

___

Hari keempat belas dari #15HariCeritaEnergi

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!

Menghemat energi lebih lanjut melalui bangunan hijau

Sebagaimana telah kita ketahui dari artikel sebelumnya, pilar terakhir dalam upaya menciptakan pembangunan berkelanjutan dan mencegah dampak perubahan iklim adalah meningkatkan efisiensi dalam pemakaian energi. Sebagian dari efisiensi tersebut melibatkan pemakaian listrik rumah tangga, dengan menggunakan lampu LED serta perangkat rumah tangga lainnya yang hemat energi. Namun, sebagaimana halnya kita hanya menghabiskan sebagian waktu kita di rumah, efisiensi energi juga melibatkan sektor komersial – kantor tempat kita bekerja, mal tempat berakhir pekan, ataupun kawasan-kawasan perindustrian yang memproduksi barang-barang yang kita gunakan sehari-hari.

Efisiensi energi di sektor komersial merupakan sebuah pendekatan menuju pembangunan berkelanjutan yang menarik untuk ditelusuri. Di satu sisi, sektor komersial merupakan salah satu pengguna energi terbesar – di Amerika Serikat misalnya, tercatat bahwa bangunan komersial mengkonsumsi sebesar 19% dari seluruh energi yang dikonsumsi di Amerika Serikat. Namun, di sisi lain, bangunan komersial merupakan low-hanging fruit untuk kegiatan penghematan energi. Selain sifat pengoperasian gedung komersial yang lebih terpusat (lebih mudah untuk mengendalikan satu operator gedung dibanding rumah tangga seribu karyawan yang bekerja di dalamnya), penghematan energi juga memberikan dampak bisnis yang jelas bagi pengelola gedung dalam bentuk pengurangan biaya operasional yang cukup signifikan, terlebih dengan economies of scale yang memungkinkan proyek efisiensi energi pada gedung menjadi lebih efektif.

Pemakaian energi di gedung komersial

Tahukah Anda bahwa pemakaian listrik satu mal di Jakarta – mungkin tempat Anda sedang berada saat ini, menyeruput kopi sambil membaca tulisan ini – bisa menerangi setengah kabupaten di daerah? Mungkin tidak terlalu mengejutkan, mengingat terang dan sejuknya gedung-gedung raksasa tersebut seluruhnya tentunya membutuhkan listrik.

Selain mal, gedung di sektor komersial terdiri atas berbagai jenis, dan karakteristik pemakaian energinya pun bergantung pada jenisnya. International Finance Corporation (IFC) melaporkan pada 2011, rumah sakit di Jakarta rata-rata menggunakan listrik sebanyak 270 kWh/ m2, mal 297 kWh/m2, hotel 293 kWh/m2, dan kantor 240 kWh/m2. Pemakaian listrik tersebut lebih boros apabila dibandingkan dengan Jepang, di mana menurut Japan International Cooperation Agency (JICA), pada tahun 2009 rata-rata penggunaan listrik di rumah sakit adalah 175 kWh/m2, mal 225 kWh/m2, hotel 160 kWh/m2, dan kantor 140 kWh/m2.

Pemakaian energi yang besar pada gedung komersial digunakan untuk beberapa hal, di antaranya:

  1. Pendingin ruangan: Dengan posisi Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa, sebagian besar wilayah Indonesia memiliki iklim tropis yang tidak hanya panas namun juga lembap sehingga menimbulkan perasaan gerah. Dengan demikian, diperlukan pendinginan ruangan agar iklim di dalam ruangan lebih nyaman untuk berkegiatan, terlebih di gedung-gedung komersial yang memang difungsikan untuk mendukung kegiatan-kegiatan di dalamnya. Pendingin ruangan (air conditioning) memiliki dampak yang besar terhadap pemakaian energi sebuah gedung. Berdasarkan perhitungan JICA, kenaikan suhu pendingin ruangan sebesar 1° C dapat mengurangi pemakaian listrik sebesar 3 hingga 5%.
  2. Lampu dan penerangan: Selain pendingin ruangan, gedung komersial juga membutuhkan penerangan yang cukup untuk menunjang kegiatan di dalamnya, terutama di bagian-bagian gedung yang tidak terjangkau oleh penerangan alami. Menurut perhitungan Energy Information Administration di Amerika Serikat, penerangan mencakupi sekitar 11% dari penggunaan listrik di sektor komersial.
  3. Pengelolaan air: Peralatan yang digunakan untuk mengelola air di dalam sebuah gedung juga turut menggunakan listrik dalam jumlah yang tidak sedikit. Peralatan tersebut antara lain pompa air dan pemanas air di gedung-gedung yang membutuhkan air panas, seperti hotel, rumah sakit, dan beberapa mal dan gedung perkantoran.
  4. Perangkat listrik lainnya: Perangkat listrik lain yang digunakan dalam sebuah gedung komersial, seperti komputer dan perangkat elektronik lainnya, termasuk trafo yang digunakan untuk mengelola kelistrikan gedung itu sendiri, juga berkontribusi dalam pemakaian listrik sebuah gedung.

Bangunan hijau: pendekatan penghematan energi pada gedung komersial

Dengan skala yang lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga, meskipun menggunakan listrik dalam jumlah yang lebih besar pula, terdapat peluang penghematan energi besar yang hanya dapat dilakukan pada gedung-gedung bersakala komersial. Istilah yang umum digunakan untuk menjelaskan aneka ragam metode penghematan energi dan sumber daya pada gedung komersial adalah gedung hijau, atau green building.

Pendekatan paling sederhana yang bisa diterapkan tentunya adalah menggunakan komponen-komponen listrik yang lebih hemat energi, seperti penerangan menggunakan lampu LED serta komponen-komponen listrik lainnya yang lebih efisien. Pendekatan ini tidak jauh berbeda dengan yang dapat diterapkan di skala rumah tangga.

Untuk meningkatkan efisiensi dari komponen kelistrikan yang sudah ada, teknologi informasi dapat digunakan untuk mengoptimalkan pemakaian energi pada sebuah gedung. Contoh sederhananya adalah menggunakan sensor untuk mengatur lampu dan pendingin ruangan untuk dimatikan pada saat sebuah ruangan sudah tidak ditempati orang. Opsi yang lebih canggih adalah menggunakan teknologi Internet of Things serta pembelajaran mesin (machine learning) untuk secara otomatis menemukan pola-pola yang dapat digunakan untuk memprediksi dan mengoptimlakan penggunaan energi. Pendekatan ini disebut sebagai predictive building energy optimization, dan sudah mulai digunakan oleh beberapa perusahaan untuk mengoptimalkan pemakaian energi di kawasan perkantoran mereka, di antaranya Microsoft yang dapat mengurangi pemakaian listrik sejumlah 10% di kantor pusatnya di kawasan Seattle, Amerika Serikat, tanpa melakukan renovasi pada gedung-gedungnya.

Menggunakan komponen yang hemat energi serta mengoptimalkan komponen-komponen yang sudah ada dapat meningkatkan efisiensi energi gedung atau kawasan gedung komersial, namun penghematan terbesar dapat dilakukan dengan merancang gedung dari awal agar lebih efisien. Antara lain, gedung dapat dirancang agar mengoptimalkan pemanfaatan penerangan dan pengaturan suhu ruangan alami untuk mengurangi kebutuhan energi untuk pengaturan suhu dan penerangan. Pemilihan material yang tepat juga dapat mengurangi kebutuhan energi sebuah gedung. Sebagai contoh, Federation Square, sebuah kawasan gedung serbaguna di Melbourne, Australia, menggunakan “labirin” yang terbuat dari beton untuk menciptakan sistem pendinginan pasif yang dapat mendinginkan isi gedung di musim panas, namun juga menginsulasi isi gedung di musim dingin.

Labirin beton yang digunakan untuk pendinginan pasif di Federation Square, Melbourne, Australia
Labirin beton yang digunakan untuk pendinginan pasif di Federation Square, Melbourne, Australia

Regulasi untuk mendukung bangunan hijau

Secara umum, upaya penghematan energi pada gedung komersial melalui berbagai macam pendekatan yang tersedia memberikan dampak bisnis yang positif bagi operator gedung serta perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pemanfaatan gedung komersial. Kelompok industri seperti Konsil Gedung Hijau Indonesia (Green Building Council Indonesia) juga terlibat untuk mendukung upaya-upaya tersebut.

Untuk memberikan standar yang tepat serta kepastian hukum untuk pengelolaan gedung secara ramah lingkungan, Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat turut menerbitkan Peraturan Menteri PUPR No. 2/2015 tentang Bangunan Hijau. Berdasarkan Peraturan Menteri tersebut, bangunan gedung hijau adalah bangunan gedung yang memenuhi persyaratan bangunan gedung dan memiliki kinerja terukur secara signifikan dalam penghematan energi, air, dan sumber daya lainnya melalui penerapan prinsip bangunan gedung hijau sesuai dengan fungsi dan klasifikasi dalam setiap tahapan penyelenggaraannya. Sebagai kelanjutan dari Permen tersebut, Kementerian PUPR juga menerbitkan Strategi Implementasi Penyelenggaraan Bangunan Gedung Hijau 2015-2019, yang terutama ditujukan untuk kota metropolitan serta kawasan-kawasan strategis nasional.

Jika bangunan saja dapat ber”hemat” energi, masa kita tidak bisa?

___

Hari ke-tiga belas dari #15HariCeritaEnergi

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!

Konservasi dan efisiensi energi, cara paling murah menuju pembangunan energi berkelanjutan

Terdapat tiga pilar utama dalam upaya menciptakan pembangunan berkelanjutan dan menanggulangi dampak negatif perubahan iklim, yaitu memastikan adanya akses terhadap energi modern, meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi global, dan yang terakhir adalah meningkatkan efisiensi energi di dunia[1]. Logis saja, dengan adanya akses terhadap energi modern, standar kehidupan masyarakat menjadi lebih tinggi dan lebih layak, mendukung untuk pembangunan manusia yang lebih tinggi. Sedangkan meningkatkan porsi energi terbarukan erat dan langsung kaitannya denagn pengurangan emisi gas rumah kaca yang menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan dan mengancam kelayakan dan ketahanan hidup kita. Lalu poin terakhir, yaitu efisiensi energi – bagaimanakah hubungannya dengan pembangunan berkelanjutan?

Efisiensi energi sendiri dapat diartikan sebagai penggunaan energi yang lebih sedikit untuk mencapai hasil yang sama. Misalnya, pemilihan penggunaan lampu LED dibandingkan dengan lampu pijar – lampu LED merupakan lampu yang paling hemat energi dibanding yang lain karena menggunakan daya (dihitung dalam satuan watt) yang lebih kecil untuk menghasilkan kadar keterangan yang sama. Lampu LED hanya membutuhkan 4 watt untuk menghasilkan keterangan yang sama dengan lampu pijar berdaya 25 watt. Praktis, selama masa hidup lampu tersebut, jumlah listrik yang digunakan akan jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah listrik yang dibutuhkan lampu pijar.

Memahami hal tersebut, dapat kita kembali menyambungkan hubungan efisiensi energi dengan pembangunan berkelanjutan – karena dengan program-program efisiensi energi, jumlah energi yang diperlukan akan berkurang. Jika peningkatan sumber energi terbarukan dalam bauran energi total merubah sisi suplai atau penawaran, “bermain” dengan efisiensi energi merubah sisi permintaan. Jika dilakukan bersama-sama, hal ini tentu akan memastikan keandalan energi untuk masa depan yang berkelanjutan dan lebih baik.

Jangan sepelekan efisiensi energi – menurut International Energy Agency, inisiatif-inisiatif efisiensi energi di tahun 2015 setara dengan menghemat 870 juta barel minyak, 205 juta ton batubara, atau 224 miliar meter kubik gas bumi! Dengan turunnya energi yang dipakai tersebut, emisi gas rumah kaca potensial berkurang sebesar 1,5 giga ton atau sama dengan 13% dari total emisi karbon diokisa dari pembakaran bahan bakar di tahun 2015.

 

Kebutuhan energi dengan dan tanpa efisiensi energi. Sumber: IEA

Jika kita lihat grafik perbandingan kebutuhan energi tanpa dan dengan konservasi energi, dapat dilihat bahwa jika tanpa program-program efisiensi energi, kebutuhan energi di negara-negara yang tergabung dalam IEA akan lebih tinggi 12% daripada kebutuhan yang ada sekarang.

Hal lain lagi ialah konservasi energi. Walaupun secara tujuan dan konsep sedikit banyak mirip, konservasi energi juga mencakup perubahan kebiasaan dari pengguna energi. Misalnya, jika kita sudah membeli lampu LED dibanding lampu pijar (yang menunjukkan semangat efisiensi energi), kita juga jangan lupa untuk memiliki kesadaran untuk mematikannya di siang hari agar energi yang dipakai lebih sedikit lagi. Kedua hal ini sangatlah berkaitan dan dibutuhkan dalam mengurangi kebutuhan dan pemakaian energi dari pengguna.

Intensitas dan elastisitas energi

Intensitas energi diartikan sebagai alat ukur efisiensi energi dalam ekonomi suatu bangsa. Intensitas energi dihitung dalam unit energi per unit Produk Domestik Bruto (PDB) – semakin tinggi sebuah indeks intensitas energi berarti semakin banyak biaya yang dibutuhkan untuk merubah energi menjadi PDB atau semakin tingginya kontribusi sektor industri bagi keekonomian negara tersebut.

Sedangkan, elastisitas energi (RUEN 2017) merupakan rasio pertumbuhan konsumsi energi final dengan pertumbuhan PDB pada periode waktu yang sama. Semakin kecil nilainya, semakin efisien pula penggunaan energi negara tersebut dalam mendorong perekonomian – misalnya, elastisitas energi sebesar 0,6 berarti untuk meningkatkan 1% PDB, hanya dibutuhkan 0,6% kenaikan energi tambahan.

Kedua indeks diatas merupakan salah satu tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi energi suatu negara. Pada tahun 2015, menurut RUEN 2017, elastisitas Indonesia masih berada di angka 1,54 – yang berarti dibutuhkan kenaikan energi sebesar 1,54% untuk meningkatkan 1% PDB. Kedepannya, pemerintah telah berkomitmen dan beraspirasi untuk lebih membuat banyak efisiensi energi untuk perekonomian, terlihat dari target yang tertulis dalam RUEN dimana dari tahun ke tahun akan terus turun, terutama dari tahun 2015 hingga tahun 2030.

Aspek “bisnis” dalam konservasi dan efisiensi energi

Cara paling murah untuk memberikan listrik ke masyarakat. Sumber: American Council for an Energy-Efficient Economy

Lebih mudah mengaitkan konservasi dan efisiensi energi dengan lingkungan hidup dan emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan segi bisnis. Tapi, tahukah anda bahwa menurut ACEEE, konservasi energi merupakan cara paling murah untuk memberikan akses listrik bagi masyarakat Amerika Serikat?

Seperti yang kita lihat pada grafik diatas, konservasi energi umumnya memiliki investasi yang paling rendah dan dapat menciptakan pengaruh yang paling signifikan, bahkan dibanding pembangkit listrik fosil seperti batu bara. Dikutip dari studi yang dilakukan oleh American Council for Energy Efficient Economy (ACEEE), di negara Paman Sam, jauh lebih ekonomis bagi perusahaan penyedia listrik untuk mengurangi pemakaian listrik pelanggannya, daripada menambah pembangkit listriknya. Rata-rata, untuk mengurangi pemakaian pelanggan sebanyak 1 kWh, hanya dibutuhkan 2.8 USD sen/kWh. Harga ini dua sampai tiga kali lebih murah dibanding membangkitkan listrik dengan jumlah yang sama.

Studi ini mengambil data bertahun-tahun dari program-program konservasi energi di Amerika yang terdiri dari berbagai macam inisiatif energi, dari mempromosikan lampu hemat energi, memberikan insentif untuk pembelian alat-alat hemat energi, sampai mensosialisasikan penerapan efisiensi energi di rumah-rumah dan kantor.

Di Amerika Serikat sendiri, perusahaan-perusahaan penyedia listrik sudah berinvestasi 7,2 milyar US Dollar per tahunnya untuk meningkatkan efisiensi energi. Dari investasi ini sendiri, perusahaan-perusahaan tersebut sudah mendapatkan Return on Investment (ROI) yang luar biasa besar, terutama dibandingkan dengan biaya pembangkitan listrik.

Berdasarkan fakta-fakta diatas, konservasi energi bukanlah hanya sebuah gerakan untuk “go green” belaka. Melainkan, konservasi energi adalah sebuah keputusan bisnis yang memiliki capital cost yang rendah dan juga berpotensi memiliki return yang tinggi!

Efisiensi energi dan kebijakan

Dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan lainnya, kebijakan mengenai efisiensi energi dapat dikatakan sebagai kebijakan yang paling hemat biaya – tidak seperti pengembangan sumber energi terbarukan yang terkadang masih membutuhkan insentif finansial, atau pengembangan CCS yang masih membutuhkan proses perizinan dan kerangka hukum yang rumit, atau pemerataan energi yang membutuhkan pembangunan infrastruktur.

Sayangnya, pada hari ini masih banyak negara-negara yang belum mengadopsi target efisiensi wajib, yaitu 70% dari total negara yang dipelajari. Padahal sudah terdapat bukti dimana pengadopsian kebijakan efisiensi energi sudah membawa bukti konkrit – misalnya dengan adanya penerapan standar minimum bahan bakar minyak (BBM), di tahun 2015, minyak sejumlah 2,3 juta barel minyak tidak digunakan (sebagai komparasi, 2,3 juta barel BBM kira-kira sama dengan produksi minyak nasional di Brazil.

Contoh-contoh pengimplementasian kebijakan efisiensi energi adalah sebagai berikut:

  1. India – India berencana untuk mengimplementasikan “pajak hijau” sebesar 1% untuk mobil bensin, LPG, dan CNG; sebesar 2,5% untuk beberapa mobil diesel; dan 4% untuk mobil besar dan SUV. Dengan begitu, pembeli akan lebih memperhitungkan lagi jenis mobil seperti apa yang akan dia beli – diharapkan dari peraturan tersebut pembeli akan lebih memilih membeli mobil yang memiliki pajak yang lebih sedikit, yang secara energi paling efisien.
  2. Jepang – Jepang menerapkan standar efisiensi energi wajib bagi bangunan-bangunan baru non-residensial sejak tahun 2017. Jepang juga merencanakan menghilangkan lampu pijar dan lampu fluorescent pada tahun 2020, agar dapat menggunakan lampu yang lebih hemat energi.
  3. Amerika Serikat – memperkenalkan standar konservasi energi untuk air conditioner, pendingin, residential boilers, charger baterai, dan banyak lainnya. Untuk sektor industri juga diperkenalkan standar konservasi energi baru untuk pompa air bersih.

Di Indonesia, konservasi dan efisiensi energi juga bukanlah hal yang baru. Buktinya, dalam struktur pemerintah sendiri, konservasi energi secara struktural berada dalam lingkup Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, secara khususnya dalam Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi. Selain itu, kebijakan wajib manajemen energi juga dituangkan melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, dan secara khususnya dalam Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi.

Potensi konservasi energi nasional pun juga masih sangat besar – sesuai dengan Draft Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (RIKEN) 2011, potensi konservasi energi sektor industri dan komersial berada di kisaran 10 – 30%, 15- 30 % untuk rumah tangga, dan 15-35% untuk transportasi. Sesuai dari Studi Indonesia-DJLPE dengan Jepang-JICA di tahun 2008 pun juga terlihat bahwa pemakaian energi di Indonesia masih sangat boros.

Nah, melihat pentingnya efisiensi dan konservasi energi, dan melihat sebegitu potensialnya konservasi energi itu, bagaimanakah langkah konkrit yang dapat kita aplikasikan sehari-hari? Akan kita bahas lebih lanjut besok tetap dalam #15HariCeritaEnergi!

 

___

Referensi

[1] Konsep dasar ini merupakan misi utama dari Sustainable Energy for All, suatu organisasi kerjasama antara PBB dan World Bank.

 

___

Hari ke-dua belas dari #15HariCeritaEnergi

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!

Carbon Capture and Storage: “menanam” kembali karbon dioksida ke dalam tanah

Kita sudah membahas tentang masa depan energi dimana diperlukan pengembangan energi terbarukan yang lebih bersih dan berkelanjutan agar tidak mengganggu kelayakan hidup dan menghindari dampak perubahan iklim yang lebih buruk lagi. Namun, pada kenyataannya kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa pada hari ini sumber energi utama kita adalah energi fosil yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Pasti diperlukan masa transisi dari sumber energi fosil menjadi sumber energi terbarukan – namun perlu dipikirkan suatu cara untuk menanggulangi emisi tersebut agar tidak menimbulkan dampak lebih lanjut perubahan iklim.

Lalu, apakah yang dapat dilakukan untuk menanggulangi emisi tersebut?

Salah satu teknologi yang sedang marak dikembangkan akhir-akhir ini adalah carbon capture and storage (CCS) – teknologi untuk menangkap dan menyimpan karbon dioksida secara jangka panjang di suatu tempat penyimpanan dimana karbon dioksida tersebut tidak akan keluar ke atmosfir. Tempat penyimpanan tersebut misalnya formasi geologi dalam tanah. Setelah disimpan di dalam tanah, karbon dioksida tersebut tetap dimonitor baik kondisi bawah tanah atau subsurface-nya, kondisi permukaan tanahnya, serta udara sekitar fasilitas CCS agar memastikan keandalan proses tersebut.

Simak video dibawah ini untuk lebih memahami proses jalannya CCS!

Sebenarnya, konsep menginjeksi karbon dioksida kembali kedalam tanah bukanlah suatu hal baru. Konsep ini sudah dipakai dalam proses enhanced oil recovery, suatu proses untuk meningkatkan produksi minyak dalam operasi migas terutama di sumur-sumur tua. Namun yang berbeda dari proyek CCS ini adalah struktur penyimpanan geologis ini memang ditujukan untuk menyimpan karbon dioksida secara jangka panjang.

Proyek CCS pertama ialah penyimpanan karbon dioksida Sleipner di Norwegia yang mulai beroperasi di 1996. Selama sebelas tahun beroperasi, fasilitas yang terletak lepas pantai Norwegia ini sudah menyimpan 16,5 juta ton karbon dioksida! Fasilitas ini sebenarnya dibuat dalam rangka pengembangan proyek gas bumi, dimana dibutuhkan pengurangan kadar karbon dioksida dalam gas yang dijual untuk memenuhi spesifikasi gas yang dibutuhkan oleh konsumen. Sedangkan pada saat itu, Norwegia sudah meregulasi pajak untuk karbon yang dilepaskan ke atmosfir, sehingga jika karbon dioksida tersebut tidak diinjeksikan kembali ke dalam tanah, Statoil, perusahaan yang mengembangkan proyek migas tersebut, harus membayar pajak yang besar 1 juta krona per hari.

Hari ini, banyak proyek CCS yang sedang dalam tahap konstruksi. Salah satu proyek CCS yang paling besar ialah proyek CCS Petra Nova yang memiliki kapasitas injeksi karbon dioksida sebesar 1,4 juta ton per tahun.

Kebijakan CCS di dunia

Mari kita lihat beberapa contoh kebijakan tentang CCS yang ada di dunia.

Di Inggris Raya, terdapat kebijakan dimana pembangkit listrik tenaga uap (batubara) baru harus memasang modul CCS sebesar kapasitas pembangkit tersebut. Selain itu, pembangkit yang menghasilkan thermal yaitu pembangkit yang bersumber minyak, gas, biomassa, dan batubara, harus dirancang dengan kesiapan CCS atau CCS ready jika di masa depan diwajibkan pemasangan CCS.

Di Republik Rakyat Tiongkok, pemerintah RRT sudah mengidentifikasi CCS sebagai salah satu strategi utama untuk mencapai target lingkungan sejak tahun 2006. Sebagai langkah lanjutan, pemerintah sudah melakukan studi-studi kelayakan serta melakukan pilot project di beberapa daerah.

Berdasarkan dengan survei yang dilakukan oleh Global CCS Institute yang menghitung kesiapan negara-negara di dunia untuk mengadopsi CCS, negara-negara yang secara teknis, hukum, dan kebijakan paling siap untuk mengadopsi CCS ialah Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada.

Kesiapan CCS di Indonesia

Hari ini, belum ada proyek CCS yang sudah beroperasi di Indonesia. Bahkan, belum ada kebijakan yang secara spesifik membahas tentang CCS di Indonesia – bagaimana posisi pemerintah terhadap biaya yang dikeluarkan oleh investor CCS atau kontraktor migas yang mau memasang modul CCS dalam proyeknya, izin lingkungan apakah yang diperlukan, prosedur keselamatan apa yang harus diikuti, dan apakah aktivitas penginjeksian tersebut diperbolehkan.

Dalam Undang-Undang 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tidak dituliskan secara eksplisit mengenai boleh atau tidaknya aktivitas CCS — bahkan menurut analisa Global CCS Institute nampaknya akan diperlukan persetujuan AMDAL sebelum mengembangkan proyek CCS di Indonesia.

Namun begitu, LEMIGAS sebenarnya sudah memulai studi kelayakan implementasi CCS di Indonesia, paling tidak secara kelayakan teknisnya. Dari studi tersebut dilihat bahwa beberapa basin-basin geologis di Indonesia sebenarnya cocok untuk penyimpanan karbon dioksida, dengan basin Kutai di Kalimantan menjadi basin yang paling cocok untuk penerapan proyek CCS, diikuti oleh basin Tarakan dan basin Sumatera Selatan jika diukur dari aspek teknis.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh pengembangan CCS adalah biayanya yang masih tergolong mahal. Biaya untuk memasang modul CCS dalam suatu proyek pembangkit listrik bertenaga fosil, misalnya batubara, atau suatu proyek hulu migas akan mempengaruhi keekonomiannya. Untuk mengompensasikan hal tersebut, investor mungkin harus menyesuaikan harga jual akhir produk tersebut atau harga jual listrik sehingga dapat mencapai tingkat pengembalian ekonomi yang sama. Berbeda dengan kasus proyek CCS di Norwegia yang telah kita bahas diatas, tidak semua negara memiliki pajak atas emisi karbon. Hal ini membuat investor mungkin tidak merasa terdorong dan mendapatkan insentif jika ia melakukan CCS dalam proyeknya; toh jika emisi tersebut dibuang ke udara tidak ada rugi dan biayanya?

Kabar baiknya ialah terdapat tren yang melihat bahwa biaya CCS akan terus turun, seperti pada pengembangan energi angin dan surya. Namun, tidak cukup hanya mengandalkan biaya yang turun untuk mengembangkan CCS — menurut IEA dalam laporan A Policy Strategy for Carbon Capture and Storage, dibutuhkan dukungan dari pemerintah dalam bentuk kesiapan dan komitmen pemerintah dalam instrumen hukum negara yang mengatur, mendorong, atau bahkan memberi insentif untuk proyek CCS.

Melihat bahwa CCS dapat menjadi langkah penting untuk menanggulangi permasalahan emisi karbon dioksida dalam masa transisi dari energi fosil menjadi energi terbarukan, pengembangan CCS ini juga harus diperhatikan, menjadi sebuah aktivitas komplementer disamping pengembangan energi terbarukan.

Hari kesebelas dari #15HariCeritaEnergi

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!

Perlunya memperhatikan aspek non-teknis dan komersial dalam pengembangan Energi Terbarukan

Pembangkit-pembangkit listrik bertenaga sumber energi baru dan terbarukan yang sudah ada di Indonesia saat ini – misalnya PLTA Cirata di Purwakarta dengan kapasitas terpasang 1.008 MW dan PLTS 5MWP di Kupang Tengah – adalah bukti bahwa penggunaan sumber energi terbarukan untuk menghasilkan dan mensuplai listrik sangat mungkin. Namun, mengapa baru 5% dari konsumsi energi total yang dapat dipenuhi oleh pembangkit listrik bersumber energi terbarukan – atau hanya 8,5 GW sedangkan potensi energi terbarukan di Indonesia menurut IRENA REmap 2017 dapat mencapai 707 GW?

Untuk menjawabnya, mari sekarang kita melihat spesifik kepada tantangan-tantangan komersial yang dihadapi oleh pengembang listrik dengan sumber energi terbarukan secara global maupun secara spesifik di Indonesia.

Pada dasarnya sebuah bisnis dalam menentukan keputusan investasi akan melihat dari keandalan suatu proyek – apakah proyek tersebut akan menguntungkan menimbang biaya yang sudah kita keluarkan dan akan membawa pengembalian nilai ekonomis yang sesuai, serta kepastian hukum dan dukungan kebijakan dari pemerintah yang akan “melindungi” masa depan proyek tersebut.

Biaya pengembangan energi terbarukan

Salah satu “momok” yang paling sering dijadikan alasan utama macetnya pengembangan energi terbarukan ialah biayanya yang mahal. Namun pada kenyataannya, beberapa figur-figur berkata lain – sebagai dampak positif dari inovasi yang terus menerus, biaya pengembangan beberapa sumber energi terbarukan memiliki tren yang terus turun.

Tren biaya pengembangan EBT. Sumber: Frankfurt School – UNEP Collaborating Centre

Tergambarkan dengan ilustrasi di atas, menurut Bloomberg New Energy finances, harga-harga sumber energi terbarukan, terutama panel surya dan energi angin lepas pantai dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan biaya per MWh yang dihasilkan. Misalnya saja, biaya panel surya menurun sebesar 17% hanya dalam satu tahun menjadi US$ 101 per MWh. Hal ini disebabkan beberapa hal: metode pembiayaan, biaya modal yang menurun, dan meningkatnya tingkat efisiensi peralatan dalam pembangkit listrik tenaga surya dan angin. Metode pembiayaan disini maksudnya adalah lebi banyaknya opsi pembiayaan bagi proyek-proyek EBT yang kompetitif, misalnya banyaknya opsi pinjaman dengan suku bunga yang rendah, atau adanya investasi khusus untuk proyek-proyek EBT. Tingkat efisiensi yang meningkat berarti lebih banyak listrik yang dihasilkan oleh pembangkit tersebut, sehingga energi awal yang berpotensi untuk dirubah menjadi listrik dapat lebih banyak terserap dengan konsep dasar yang sama. Harga biaya modal yang turun disebabkan oleh konsep desain yang berbeda, serta tingkat kompetisi yang semakin sengit, membuat produsen komponen pembangkit listrik mencari cara untuk menekan harga.

Kebijakan dan struktur yang lebih kuat

Walau secara biaya sudah ada tren menurun, namun menurut International Energy Agency dalam World Energy Outlook 2016, biaya yang terus turun tidak akan cukup untuk pengembangan EBT yang mumpuni. Diperlukan juga perubahan struktural dan dukungan kebijakan dari pemerintah untuk mengintegrasikan energi angin dan surya, sumber EBT yang perkembangannya paling pesat akhir-akhir ini, ke dalam bauran energi. Dukungan kebijakan tersebut berbagai macam bentuknya, mulai dari dukungan kebijakan yang mempertegas posisi pemerintah dalam pengembangan EBT, dukungan kebijakan dalam hal mempermudah perizinan dan operasional pengembangan EBT, maupun dukungan kebijakan dalam soal harga atau hal-hal yang berhubungan dengan tingkat potensi pengembalian keekonomian suatu proyek.

Dalam hal penegasan posisi pemerintah dalam pengembangan EBT, sudah tidak usah disangsikan lagi – berkali-kali dalam berbagai kesempatan yang berbeda, pemerintah Indonesia telah menegaskan aspirasi jangka menengah dan jangka panjang tentang peran EBT di masa depan energi Indonesia. Komitmen untuk mengembangkan EBT, misalnya, sudah tercatat dan tersampaikan dalam Intended Nationally Determined Contribution (INDC) Indonesia 2016 dalam diskusi UNFCCC atau Konferensi Paris silam. Bauran energi juga sudah tercatat dalam RUEN 2017. Namun, masih terdapat sedikit ketidak-konsistensian dalam dokumen-dokumen yang diterbitkan oleh pemerintah. Misalnya, dalam RUEN 2017 tertulis bahwa bauran energi dari sumber EBT ialah 23% dari bauran energi nasional – sedangkan dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang dikeluarkan oleh PLN di tahun 2016-2025 menyatakan bahwa porsi dari EBT ialah 19%. Melihat bahwa RUPTL akan menjadi dokumen acuan untuk perencanaan penyediaan tenaga listrik, diperlukan koordinasi lebih untuk lebih baik menerjemahkan aspirasi pemerintah ke dalam proses perencanaan teknis.

Dalam hal mempermudah perizinan, pemerintah sudah menunjukkan komitmennya misalnya melalui implementasi Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang berada dibawah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dimana perizinan untuk urusan kelistrikan sudah termasuk dalam perizinan yang diurus oleh BKPM dan dapat dilihat statusnya secara daring atau online.

Pemerintah pun juga melihat pentingnya percepatan pembangunan infrastruktur prioritas – dan hal tersebut adalah latar belakang dibentuknya Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) yang berada dibawah Kemenko Ekonomi. KPPIP ini bertanggung jawab untuk melakukan debottlenecking untuk proyek-proyek yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional, dimana proyek penyediaan listrik 35 GW termasuk didalamnya. Salah satu contoh konkrit peran KPPIP dalam membantu debottlenecking proyek penyediaan listrik ialah perannya dalam mengkoordinasikan persoalan pembebasan lahan untuk High Voltage Direct Current (HVDC) dari PLTU mulut tambang di Sumatra kedalam jaringan Jawa/Bali.

Kebutuhan pembebasan lahan yang besar tentu dapat menjadi suatu hambatan dalam eksekusi suatu proyek, tidak terkecuali dalam proyek EBT. Melalui KPPIP, dilakukanlah mediasi dan koordinasi antar berbagai institusi pemerintahan seperti Kementerian BUMN, Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan terkait lainnya yang tujuannya adalah menemukan suatu jalan tengah yang menguntungkan semua pihak. KPPIP juga melakukan sosialisasi Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pembebasan Lahan, instrumen hukum lainnya yang telah dikeluarkan pemerintah untuk mempermudah dan memperjelas tata cara pembebasan lahan.

Berhubungan dengan eksekusi Proyek Strategis Nasional ini pula dikeluarkanlah Peraturan Presiden No 3/2016 yang mengatur mengenai Percepatan Proyek Strategis Nasional – poin-poin dalam Perpres tersebut termasuk percepatan proses perizinan, tata ruang, dan pembebasan lahan, yang konsisten dengan semangat pemerintah. Tentunya kita mengharapkan follow-up dan implementasi yang baik dari kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut.

Lalu yang terakhir ialah soal harga. Pemanfaatan sumber EBT dalam penyediaan listrik sebelumnya terangkum dalam Peraturan Menteri ESDM No 12 Tahun 2017, dimana dalam Permen tersebut ditentukan tarif yang berlaku bagi PLT dengan sumber EBT. Menerima saran dan tanggapan dari industri dan pengamat energi yang menyarankan struktur penentuan tarif yang lebih baik, Permen tersebut direvisi dengan Permen No 50 Tahun 2017 yang merevisi struktur penentuan tarif, dimana penentuan tarif lebih fleksibel dan mengenalkan kembali prinsip negosiasi business-to-business. Jika pemerintah dapat terus mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan agar selalu kompetitif dibandingkan negara lain, dan update sesuai dengan pergerakan dan perkembangan industri, iklim investasi dan pengembangan energi terbarukan di Indonesia dapat terus meningkat dan mencapai aspirasi pemerintah!

Hari kesepuluh dari #15HariCeritaEnergi

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!

Layang-layang, batu, dan jalanan dapat menghasilkan listrik?

Saat kita menyebutkan tentang sumber-sumber energi terbarukan, mungkin yang terpikir dalam otak kita adalah energi surya, angin, air, atau biomassa. Tentu saja, karena sumber energi tersebut adalah sumber energi terbarukan yang paling jamak dan paling besar kapasitas terpasangnya. Sumber energi tersebut juga merupakan sumber-sumber energi terbarukan yang dapat dikatakan lumayan matang pengembangannya – PLTA, misalnya, sudah digunakan hampir sejak seratus tahun lalu di Indonesia. Dilakukan inovasi secara terus menerus untuk mengembangkan energi terbarukan, agar biaya produksi energi terus turun dan investasi dalam sektor ini menjadi lebih banyak, meningkatkan efisiensi agar lebih banyak energi yang diciptakan dari pembangkit sumber energi tersebut, dan juga mengoptimasi rancang bangunnya agar lebih banyak energi yang dapat terkonversi.

Selain inovasi terhadap sistem-sistem yang sudah ada sekarang, banyak penemu dan pengembang energi terbarukan juga melakukan inovasi terhadap sumber energi apa dan dari mana yang dapat mereka kembangkan dan “panen”. Misalnya – pernahkah anda mendengar layang-layang yang dapat menghasilkan listrik? Atau jalan yang menghasilkan listrik? Atau lampu yang menggunakan batu dan gravitasi?

Mari kita melihat ide-ide dan inovasi “gila” yang dikembangkan orang-orang dalam kontribusinya menyelesaikan masalah energi di masa depan!

Layang-layang yang menghasilkan listrik

Tentu kita tidak asing dengan layang-layang – saat kecil, kita pasti pernah memainkannya atau bahkan membuatnya. Konsep layang-layang yang sepertinya hanya ditujukan untuk bermain dan relaksasi, ternyata dapat juga menginspirasi pengembang energi terbarukan dan penemu untuk mengaplikasikannya dalam pengembangan sumber energi angin!

Makani, sebuah perusahaan yang didukung oleh Google X, sedang mengembangkan “layang-layang” yang dapat memanfaatkan energi angin dan merubahnya menjadi energi listrik. Ide ini berasal dari observasi mereka dimana mereka melihat turbin angin konvensional yang jamak dipakai di PLTB akan mencapai sebuah titik optimal dimana biaya bangun sebanding dengan daya yang dihasilkan serta efektivitasnya – semakin besar energi yang dihasilkan, semakin besar dan tinggi pula turbin yang perlu dibangun, membuat biaya bangunnya semakin besar dan semakin spesifik pula lokasi yang dapat dipakai untuk membangun turbin angin tersebut. Ditambah lagi, turbin angin ini umumnya dibuat dari baja yang mahal.

Hal ini membuat Makani berpikir lebih jauh – bagaimana kita dapat memanfaatkan energi angin dengan material yang lebih sedikit dan lokasi yang lebih fleksibel? Karenanya, mereka mengaplikasikan prinsip aerodinamis yang sama, serta prinsip menghasilkan listrik yang sama dengan turbin angin konvensional yaitu dengan menggerakkan generator listrik menggunakan angin – hanya saja mereka menggunakan sejenis “layang-layang” yang menghasilkan listrik melalui baling-baling kecil pada layang-layang yang memutar generator, dan disambung dengan kabel bermaterialkan bahan konduktor listrik yang kemudian mengalirkan listrik ke ground station yang terletak di darat. Layang-layang ini tentu bukan layang-layang yang biasa kita bangun dan mainkan saat kita kecil, yang terbuat dari bambu dan kertas minyak, ya!

Prototip layang-layang Makani. Sumber: Makani

Dengan menggunakan konsep ini, layang-layang Makani menggunakan 90% lebih sedikit material dari turbin angin konvensional, membuat biaya pengembangan secara prinsip lebih murah. Ditambah lagi, hanya sedikit lokasi yang dianggap mumpuni untuk membangun turbin angin atau wind farm – lokasi tersebut harus sangat berangin, cukup luas, dan skalanya harus cukup besar agar dapat menjadi ekonomis – sedangkan Makani yang skalanya lebih kecil dapat ditaruh di lebih banyak lokasi. Ditambah lagi, karena Makani dapat menangkap lebih banyak angin di ketinggian yang lebih tinggi (misalnya pada ketinggian 250 m), Makani pun dapat menghasilkan dan memanfaatkan angin yang sebelumnya tidak dapat dimanfaatkan oleh turbin angin konvensional. Satu layang-layang Makani dapat menghasilkan 600 kW atau cukup daya untuk mengaliri listrik bagi 300 rumah di Amerika Serikat!

Jalan yang diam itu pun dapat menyalakan lampu

Tahukah anda bahwa di beberapa tempat di dunia, bahkan jalan atau lantai yang ada injak dapat menghasilkan listrik? Bagaimana bisa?

Konsep piezoelectricity adalah arus listrik yang dihasilkan saat sebuah material piezeoleketrik diberikan tekanan energi mekanis. Namun, tidak semua material merupakan material piezoelektrik – material piezoelektrik harus merupakan material dengan struktur kristal dengan struktur yang tidak simetris, misalnya seperti silikon. Material piezoelektrik ini akan berubah menjadi material yang memiliki kutub positif dan kutub negatif sementara, membuat satu sisi dari kristal tersebut menjadi kutub positif dan sisi lainnya kutub negatif – persis seperti konsep baterai dimana arus dapat mengalir jika disambung dengan konduktor diantara kedua kutub tersebut.

Apabila terdengar rumit, mari kita lihat penjelasan singkat mengenai konsep piezoelectricity melalui animasi dibawah:

Lalu, bagaimana dapat mengaplikasikan ini untuk menghasilkan listrik yang dapat kita manfaatkan sehari-hari?

Negara bagian California, Amerika Serikat, baru-baru ini mengadakan sebuah eksperimen dimana beberapa jalan di negara bagian dibangun dari material kristal piezoelektrik, agar saat dilalui mobil, tekanan yang diberikan dari mobil tersebut dapat dirubah menjadi listrik yang dapat digunakan untuk menyalakan lampu jalan, misalnya, atau bahkan menghasilkan listrik untuk digunakan di rumah tangga, seperti sebuah proyek lain yang secara konseptual berambisi untuk mensuplai 5.000 rumah melalui teknologi yang sama!

Instalasi Pavegen di Bird Street, London. Sumber: Pavegen

Perusahaan Pavegen juga mengaplikasikan hal yang sama – mengubah derap langkah pejalan kaki yang berjalan di Bird Street, London, menjadi tenaga listrik yang dapat menyalakan panel-panel yang berada disekitarnya!

Walaupun konsep ini masih dalam tipe percobaan dan prototip, terdapat potensi pengembangan di masa depannya – mungkin suatu hari nanti lampu jalan tol di Jakarta dapat menggunakan listrik melalui mobil-mobil yang lewat di jalan tersebut!

Lampu yang nyala memanfaatkan gravitasi

Masih banyak orang-orang yang hidup tanpa diterangi oleh listrik – mereka yang hidup di daerah yang tidak terjangkau jaringan listrik atau off-grid, yang untuk penerangan sehari-harinya menggunakan lampu tradisional dari kerosene, lilin, minyak nabati, atau lemak hewani. Penerangan menggunakan kerosene ini tentu bukanlah suatu solusi jangka panjang yang baik – selain risiko kesehatan yang timbul akibat asapnya, kerosene atau minyak tanah ini juga mahal.

Sebuah perusahaan asal Inggris, GravityLight, mencoba mencari solusi bagi masyarakat-masyakarat ini yang tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk mengembangkan panel surya di daerah tempat tinggal mereka – mereka mencoba memanfaatkan gravitasi bumi untuk menciptakan penerangan.

Bagaimana cara kerjanya?

Cara kerja GravityLight. Sumber: GravityLight

GravityLight menggunakan cara yang sangat amat sederhana – sebuah motor dan LED yang tersambung dengan beban (bisa berisi batuan, atau apapun), dimana karena gravitasi, beban tersebut akan turun, dan turunnya beban ini akan memutar motor yang menyalakan lampu LED. Sederhana bukan? Satu kali tarikan alat ini dapat menyalakan lampu selama 20 menit. Setelah 20 menit berakhir dan beban sudah mencapai lantai, pengguna hanya tinggal menarik kabel lagi agar beban terangkat.

Mungkin terdengar sangat remeh bagi kita yang sejak lahir sudah diterangi oleh lampu dan menikmati tenaga listrik – namun bagi masyarakat-masyarakat yang selama ini tinggal tanpa penerangan yang andal, lampu ini dapat membawa perbedaan. Anak-anak mereka dapat mengerjakan PR di malam hari, balita yang tadinya harus menghirup asap karena pembakaran kerosene agar terang di malam hari dapat menikmati udara yang lebih bersih. Mari kita simak dibawah ini dampak positif yang dibawa oleh GravityLight di suatu daerah di Kenya.

Memang sumber-sumber energi ini bukanlah merupakan suatu sumber energi yang dapat serta-merta dijadikan sumber energi utama sebuah komunitas atau negara. Mudah saja untuk kita mengatakan “ah hanya gitu saja, tidak efektif untuk kedepannya” kepada produk-produk yang terdengar “gila” ini – namun, bayangkan jika lebih banyak inovator yang melihat potensi pengembangan energi-energi baru dan inovatif dari hal-hal yang kita lihat sehari-hari namun tanpa sadar dapat menghasilkan listrik atau menjadi sumber penerangan. Bayangkan jika ada saudara-saudara kita di daerah yang terpencil di Indonesia ini yang terinspirasi dan menjadi solusi bagi komunitas mereka yang mungkin masih belum dialiri listrik atau bahkan tidak memiliki penerangan. Tentu, tidak menutup kemungkinan pula bahwa energi “gila” dan “remeh” ini dapat dikembangkan dalam skala yang lebih besar, menjadi alternatif yang dapat menyelesaikan masalah bagi lingkungan di sekitarnya.

Ide gila itu pun menjadi penerang bagi masyarakat sekitar dan menjadi secercah harapan untuk energi yang lebih baik di masa depan.

Hari kesembilan dari #15HariCeritaEnergi

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!

Seri Sumber Energi Terbarukan: Sang surya yang bukan hanya menyinari dunia, namun juga melistrikinya!

Ada, lho, sebuah sumber energi terbarukan yang energinya yang ada di bumi saat ini sudah 10.000 kali lebih banyak dari kebutuhan energi global! Tidak percaya? Secara terus menerus, terdapat 173.000 terawatt energi dari matahari yang sampai ke bumi. Wow! Jika begitu, kenapa kita tidak langsung memakai saja energi dari matahari tersebut untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari? Apakah hambatan perkembangan pemanfaatan tenaga surya? Mari kita simak satu per satu, dimulai dari memahami bagaimana cara memanfaatkan energi surya menjadi listrik.

Kita mungkin sering melihat sel surya di banyak barang-barang kita sehari-hari – misalnya pada kalkulator kita, hiasan mobil, dan powerbank. Kita tahu bahwa sel-sel kotak berwarna hitam itu adalah sumber energi bagi barang-barang tersebut, namun, apakah sebenarnya yang terjadi di dalam sel tersebut?

Sel surya, atau panel fotovoltaik, adalah sebuah panel semikonduktor yang biasanya terbuat dari silikon. Saat sinar matahari mengenai panel tersebut, elektron yang terdapat di dalam panel ini tereksitasi dan bergerak, yang kemudian menghasilkan arus listrik. Untuk dapat membayangkan dengan lebih mudah, mari kita simak video dibawah ini:

Keuntungan pemanfaatan energi surya

Terdapat beberapa keuntungan dari pemanfaatan energi surya – pertama-tama, tentunya sebagai sumber energi terbarukan, sumber energi ini sangat minim emisi dan dampak lingkungannya. Ditambah lagi, seperti yang sudah disebutkan diatas, sumber energi ini merupakan sumber energi yang pada hari ini sudah berlimpah, sehingga yang harus kita lakukan ialah menangkap potensinya dan memanfaatkannya secara optimal.

Keuntungan kedua ialah panel surya dapat digunakan di daerah-daerah terpencil dan dalam skala yang kecil. Berbeda dengan sumber energi atau pembangkit listrik lain yang lebih tersentralisasi, pemanfaatan energi surya dapat dilakukan di area-area yang lebih kecil, misalnya rumah anda masing-masing. Dengan menambahkan panel surya di atap rumah, anda sudah dapat  menghasilkan listrik sendiri, “memanen” dari sinar matahari yang setiap hari menyinari rumah anda. Pengaplikasiannya di Indonesia tentu sangat relevan – daerah-daerah yang mungkin akan susah untuk dicapai dengan sistem pembangkit tersentralisasi, misalnya di pulau-pulau terluar, dapat mengembangkan panel surya untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah tersebut yang tentu tidak sebanyak listrik yang dibutuhkan di kota-kota besar. Misalnya saja, baru awal minggu ini, kita melihat #ListrikNyalaDiAmdui! Desa Amdui, Kabupaten Raja Ampat akhirnya teraliri oleh listrik yang dibangkitkan dari PLTS Amdui.

PLTS Terpusat d Ds. Amdui mrpk prog. #KESDM melalui @DitjenEBTKE  yg dikerjakan sekitar 2,5 bulan. Sejak 27 Juli 2017 #ListrikNyalaDiAmdui pic.twitter.com/dzWBtqj83Y

Adik-adik kita di Amdui, kini pun dapat belajar di malam hari diterangi oleh lampu listrik. Salah satu bukti lagi bagaimana energi berdampak langsung kepada peningkatan hidup masyarakat dan pembangunan, seperti yang telah kita bahas sebelumnya.

Status Perkembangan PLTS di Indonesia

Dengan skalabilitas sampai ke sistem-sistem kecil untuk atap perumahan sampai pembangkit skala multi-megawatt, instalasi PLTS di dunia berkembang dengan sangat pesat beberapa hari terakhir. Namun bagaimana dengan di Indonesia? Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) memiliki potensi yang sangat tinggi di Indonesia, potensi untuk perkembangannya bahkan melebihi semua energi terbarukan lainnya. Namun, PLTS terbesar di Indonesia hanya sebesar 5MW sedangkan potensinya sampai ratusan gigawatt. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Ada banyak faktor, dua diantaranya adalah:

  1. Jaringan yang belum memadai: Meskipun sangat ekonomis dan mudah dipasang, masalah utama PLTS adalah ketidakstabilan dari energi yang dihasilkannya. Saat ada awan yang melintas, energi yang dihasilkan oleh sebuah PLTS dapat turun secara tiba-tiba dan mengganggu jaringan PLN.

 Hal ini terjadi pada PLTS Kupang (5 MWp) yang sempat ditahan pengeluarannya menjadi 3 MW karena terlalu mengganggu sistem PLN di Kupang, NTT. Saat itu, kebutuhan listrik di jaringan Kupang hanyalah 30 MW. Dengan PLTS yang 5 MW, saat terjadi kenaikan atau penurunan secara mendadak, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) disana sulit untuk mengikutinya, maka dari itu pembatasan 10% dari total kapasitas terpasang menjadi batas umum untuk sistem energi terbarukan di Indonesia. Namun, kita dapat mengakalinya dengan sistem jaringan yang lebih pintar atau smart grid, dimana kenaikan dan keturunan daya pada jaringan dapat dikontrol oleh sistem sehingga dapat menerima lebih banyak energi terbarukan.

  1. Insentif untuk produk-produk energi terbarukan yang masih kurang. Di banyak negara-negara lain, seperti contohnya di Arab Saudi, harga listrik yang dihasilkan oleh PLTS sangatlah murah, bahkan jauh lebih murah dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil! PLTS termurah dan terbesar di dunia ini (PLTS Sweihan – 1.2 GW) hanya bertarif 0.24 USD sen/kWh. Terdengar terlalu baik untuk menjadi kenyataan, bukan? Menurut analisa beberapa pengamat, ada banyak faktor yang dapt menyebabkan ini, yang terbesar adalah peniadaan pajak bagi pengembang dan importir panel fotovoltaik, harga lahan di gurun yang gratis, dan juga bunga pinjaman yang sangat murah. Singkat kata, dibutuhkan dukungan dari pemerintah dalam bentuk insentif fiskal maupun fasilitas non-fiskal agar tercapainya suatu masa depan energi terbarukan yang sangat murah, bukan hanya impian belaka.

Masa Depan PLTS di Indonesia

Meskipun ada dua tantangan utama untuk pengembangan PLTS di Indonesia, masa depan untuk PLTS masih sangat kuat – selama matahari tetap bersinar di negara kepualauan ini. Pertama-tama terdapat tren harga fotovoltaik yang turun secara drastis dalam dekade terakhir. Hal ini tentunya akan meningkatkan keatraktifan investasi dalam industri PLTS.

Instalasi solar fotovoltaik dan harga panel fotovoltaik global (sumber: IRENA)

Karena harga yang sudah dibawah 1 USD per Watt, pengembangan fotovoltaik sudah mulai bermunculan dan berkembang pesat di dunia. Di Indonesia pun, beberapa perusahaan pengembang PLTS sudah berhasil mendapatkan perjanjian jual-beli listrik dengan PLN, yaitu untuk pengembangan PLTS di Sulawesi Utara dan beberapa lokasi yang tersebar di NTB, dengan harga sekitar 10 USD sen/kWh. Harga yang cukup ekonomis untuk pembangkit energi terbarukan.

Ditambah lagi, perusahaan produsen panel surya terus mencari cara agar panel surya dapat menjadi lebih efisien mengubah energi surya menjadi energi listrik. Ini bisa dicapai dengan desain semikonduktor dan panel yang lebih efisien dan andal, sehingga energi surya tidak terpantulkan namun lebih banyak terserap.

Dengan biaya yang terus turun, pengaplikasian dan pengembangan yang sudah kian bermunculan, dan inovasi yang terus dilakukan oleh pengembang untuk membuat panel surya yang makin efisien secara teknis, bukan tidak mungkin kita melihat masa depan dimana surya bukan hanya menyinari dunia melalui sinarnya, namun juga melistriki dunia!

______

Hari kedelapan dari #15HariCeritaEnergi

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!

Seri Sumber Energi Terbarukan: Sampah kita hari ini, energi di masa depan

Terbayangkah oleh anda bahwa sampah rumah tangga sehari-hari, kotoran hewani dari kandang di kampung kita dapat berakhir kembali ke rumah kita, namun dalam bentuk yang amat berbeda – listrik! Ya, sampah yang kita buang setiap harinya dapat menjadi sebuah sumber energi, begitupun dengan kotoran hewani yang sering kita hindari karena kotor dan baunya.

Sumber energi ini, yaitu zat organik dari sebuah bahan biologis, baik tanaman atau  hewan, disebut sebagai biomassa. Contoh-contoh biomassa yang lebih sering kita dengar mungkin adalah tanaman energi, seperti gabah padi, tebu, tanaman jarak ataupun minyak kelapa sawit, dimana tanaman tersebut didistilasi dan diproses lebih lanjut menjadi campuran untuk biofuel atau Bahan Bakar Nabati (BBN). Namun, ada juga jenis yang lainnya yaitu limbah organik seperti limbah makanan, limbah kayu ataupun limbah peternakan.

Sebenarnya, biomassa adalah salah satu sumber energi yang paling lama sudah kita pakai, beribu-ribu tahun sebelum listrik ditemukan. Misalnya, saat nenek moyang kita jaman dahulu membakar kayu bakar untuk memasak atau memanaskan air, mereka sudah memakai biomassa dalam bentuk limbah tanaman. Energi yang dihasilkan dari pemanfaatan biomassa ini disebut bioenergi.

Lantas, bagaimana caranya limbah-limbah tanaman ini, atau bahkan limbah hewani dapat dirubah menjadi listrik? Mari kita simak video berikut ini sebagai penggambaran sederhana pemanfaatan biomassa untuk menghasilkan listrik!

Singkatnya, energi yang tersimpan dalam biomassa dilepaskan baik melalui pembakaran langsung biomassa, atau reaksi kimiawi melalui bakteri anaerobik yang melepaskan gas metana dari limbah hewani atau sampah-sampah yang terkumpul misalnya di TPA yang kemudian dapat dijadikan bahan bakar pengganti gas bumi (sumber energi fossil) untuk menghasilkan listrik.

Cara pemanfaatan dengan pembakaran langsung mungkin tidak terlalu asing bagi kita – limbah nabati yang dibakar akan menghasilkan panas yang akan memanaskan air, dimana uap yang dihasilkan akan memutar turbin dan membuat listrik dari generator yang tersambung dengan turbin. Pada kali ini, kita akan lebih membahas secara khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

PLTSa memiliki berbagai jenis dan cara kerja, ada yang tergantung dan sangat spesifik kebutuhan bahan bakarnya (limbah makanan, sisa hasil pertanian, dll.), ada pula yang terbagi berdasarkan proses pengolahan bahan bakarnya (biogas, pembakaran langsung, dll.). Seperti apakah pembangkit listrik dari biogas atau PLTSa yang sudah terpasang di Indonesia, dan bagaimana potensinya?

Potensi dan Tantangan PLTSa di Indonesia

Indonesia, negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia, tentunya menghasilkan banyak sampah. Dalam tahun 2016 saja, Indonesia sudah menghasilkan 65 juta ton sampah. Lalu, bagaimana dengan pemanfaatan sampah untuk pembangkitan listrik? Spesifik untuk sampah kota, Indonesia memiliki potensi sampai 2,1 GW, namun pemanfaatannya saat ini bahkan tidak sampai 1%, yaitu di angka 17,6 MW. Dengan sampah yang berlimpah ini, dan teknologi pemanfaatannya yang kurang lebih sudah kita pahami, lantas mengapa potensi ini tidak terkembangkan dengan baik? Apakah faktor-faktor yang menghambat pengembangan PLTSa di Indonesia?

Faktor pertama yang sangat besar pengaruhnya terhadap tingkat keekonomian atau keatraktifan proyek PLTSa adalah tidak adanya tipping fee atau gate fee untuk pembuangan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Tipping fee ini adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh pembuang sampah kepada perusahaan manajemen limbah saat membuang sampahnya di TPA. Penerapan tipping fee sebenarnya dapat kita nalar – sampah yang memiliki dampak bagi lingkungan hidup disekitarnya, terutama dampak kesehatan, perlu diurusi agar tidak berbahaya bagi lingkungan sekitar. Saat sebuah organisasi atau bahkan individu membuang sampah dalam jumlah besar, bukankah bisa saja ia harus membayar suatu biaya kompensasi untuk organisasi yang mengurusi sampahnya?

Di negara-negara maju, pembuangan limbah di TPA memakan biaya yang cukup signifikan dan bahkan terdapat pajak untuk pembuangan yang juga cukup tinggi. Lantas, perusahaan dalam membuang limbahnya dapat memilih untuk membuangnya ke PLTSa daripada ke TPA agar lebih hemat biaya. Hal ini membuat pembuangan limbah ke PLTSa sangat efektif karena harganya yang umumnya lebih murah. Untuk pengembang PLTSa sendiri, tipping fee ini juga menjadi pemasukan yang cukup tinggi, bisa mencapai 30-40% dari omset pembangkit listrik tersebut. Ketiadaan sistem tipping fee membuat tidak adanya insentif bagi pembuang limbah untuk memilih PLTSa sebagai alternatif sistem pembuangan limbahnya sendiri.

Faktor kedua yang tidak kalah pentingnya adalah pemilahan sampah yang masih minim. Seperti yang kita dapat amati di lingkungan sekitar, pemilahan sampah sesuai jenis-jenisnya masih sangat minim di Indonesia. Padahal, agar PLTSa dapat berkembang dengan baik, pemilahan sampah baik di zona residensial (perumahan) maupun komersial (perkantoran) dan industrial sangatlah penting. PLTSa sangat bergantung pada jenis sampah yang dapat diolahnya – ada PLTSa yang hanya dapat mengubah sampah organik seperti sisa makanan, ada pula yang hanya dapat memproses tumbuhan kering atau sisa-sisa hasil pertanian. Dengan pemilihan sampah yang baik, pengembang PLTSa dapat lebih mudah mengukur potensi pembangkit listriknya, sekaligus dapat mengatur “bahan bakar”nya dengan lebih baik. Meskipun ada banyak PLTSa yang dapat menerima sebagian besar sampah dengan membakar semuanya (insinerator), efisiensi dari PLTSa-PLTSa jenis ini masih sangat kurang karena ketidak-murnian dari bahan baku yang dibakarnya.

Bagaimana cara mendukung PLTSa?

Walaupun terhadang dua tantangan diatas, pengembangan PLTSa di Indonesia berpotensi untuk melunjak dengan dukungan yang baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Dalam RUEN 2017 dituliskan bahwa pemerintah harus mempercepat pembangunan PLTSa di tujuh kota-kota besar – Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Makassar. Walau hasil energi dihasilkan mungkin tidak sebesar energi dari sumber air atau angin yang telah kita bahas tempo hari, tapi dengan pengembangan PLTSa, pemerintah dapat menyelesaikan dua permasalahan dalam satu cara – pemanfaatannya sebagai tambahan sumber energi dan juga pengelolaan sampah agar tidak mengganggu lingkungan hidup di sekitar kota. Mungkin dalam pengembangannya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dapat bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan pemerintah daerah, terutama daerah-daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang eksplosif. Hal ini karena dibutuhkannya suatu perencanaan kota yang baik dimana limbah dari daerah tersebut bisa “dikembalikan” lagi kepada penduduk, namun dengan wujud yang jauh berbeda.

Namun perlu diingat, dibutuhkan juga peningkatan kesadaran dari kita sendiri sebagai masyarakat! Jika PLTSa sudah lebih dikembangkan lagi dan pengelolaan sampah sudah lebih baik, dilandasi dengan pemikiran bahwa sampah bukanlah masalah pemerintah saja tapi juga masalah lingkungan di sekitar kita, kita juga harus melakukan kontribusi kita dengan memilah sampah agar pengelolaan limbah dapat menjadi lebih baik.

Siapa tahu, sampah kita hari ini, energi di masa depan?

_____

Esok hari kita akan melihat sumber energi terbarukan yang lain, yaitu sumber energi surya! Tetap dalam #15HariCeritaEnergi!

 

______

Hari ketujuh dari #15HariCeritaEnergi

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!