Seri Sumber Energi Terbarukan: PLTA – Warisan dan Masa Depan EBT Indonesia

PLTA Kracak, Bogor (sumber: Katadata)

Daerah pegunungan yang sejuk, tanah yang subur, dan curah hujan yang mumpuni merupakan kondisi yang prima dan sungguh menarik untuk mengembangkan perkebunan teh – begitu mungkin yang dipikirkan oleh pemerintah Belanda di tahun 1926, ketika mereka memutuskan untuk mengembangkan Perkebunan Teh Cianten. Untuk mendukung kegiatan operasional perkebunan teh tersebut, mereka membutuhkan sumber listrik. Latar belakang inilah yang mendorong pemerintah Belanda untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kracak, salah satu PLTA tertua di Indonesia, yang hingga sekarang masih tangguh berjalan.

Selain merupakan salah satu pembangkit listrik dengan sumber EBT yang paling tua, PLTA juga merupakan pemasok listrik dari pembangkit listrik bersumber EBT terbesar yang sudah terpasang di jaringan transmisi PLN (atau sudah on-grid). Hingga 2016, sudah 4,9 GW listrik yang dipasok dari PLTA (berdasarkan RUEN 2017).

Mengapa PLTA dapat memasok begitu banyak listrik dibandingkan dengan sumber energi lainnya? Bagaimana cara kerja PLTA?

Energi yang mengalir

Secara konseptual, PLTA menggunakan sistem konversi energi yang sangat sederhana, yakni konsep energi potensial menjadi energi kinetik. Terdengar familiar bukan? Konsep ini adalah konsep yang kita pelajari pada pelajaran fisika SMP. Energi potensial sendiri adalah energi yang dimiliki oleh sebuah obyek karena memiliki suatu ketinggian atau posisi tertentu relatif dengan obyek lain, misalnya tanah. Mengaplikasikan konsep ini dalam PLTA, PLTA memanfaatkan energi yang ditimbulkan dari aliran air untuk menghasilkan daya. Dua variabel utama dalam PLTA yang mempengaruhi daya yang dihasilkan ialah debit air (mengingat bahwa massa air dapat diasumsikan dengan volumenya karena massa jenis air yaitu 1 kg/m3), serta perbedaan ketinggian, karena gravitasi bumi ialah suatu konstanta tetap.

Turbin yang tersambung dengan generator elektromagnetis dan terletak dalam PLTA ini tergerak karena aliran air, dan generator ini kemudian merubah energi ini menjadi listrik saat turbinnya berputar.

Terdapat dua tipe utama PLTA tergantung dari sumber aliran airnya, yakni waduk dan aliran sungai. PLTA yang menggunakan waduk memanfaatkan energi potensial yang terbendung dalam waduk untuk menghasilkan listrik, sedangkan PLTA yang menggunakan aliran sungai memanfaatkan aliran sungai yang sudah terbentuk secara alami dan mengalihkan sebagian dari aliran sungai tersebut ke saluran penghantar sebagai energy ipotensial untuk pembangkitan daya.

Untuk lebih mudah membayangkan cara kerja PLTA, mari kita simak video dibawah ini:

Tipe dan Terminologi PLTA sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI)

Selain perbedaan dari dua tipe diatas, berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI), PLTA juga terbagi menjadi empat kategori utama yang dibagi berdasarkan kapasitasnya.

Klasifikasi PLTA berdasarkan SNI

Potensi Energi Air di Indonesia

Seperti yang disebutkan sebelumnya berdasarkan IRENA Remap 2017, Indonesia memiliki potensi energi air (gabungan antara PLTA dan PLTMH/PLTM) sebesar 94,8 GW pada tahun 2030. Angka ini cukup tinggi karena curah hujan di Indonesia yang cukup tinggi dibandingkan dengan banyak negara lain di dunia. Tidak seperti angin yang sudah kita bahas kemarin, sumber energi air di Indonesia berlimpah justru karena letak geografis Indonesia yang berada di iklim tropis. Curah hujan ini berdampak secara langsung terhadap debit air yang mengalir – seiring bertambahnya hujan, debit air di sungai pun bertambah secara signifikan. Hal inilah yang menyebabkan PLTA-PLTA di Indonesia dapat mencapai potensi maksimalnya di musim hujan.

Mengapa Energi Air?

Selain karena potensi energi air yang sangat tinggi di Indonesia, terdapat banyak kelebihan-kelebihan lain yang membuat PLTA sangat banyak diminati di Indonesia, seperti:

  1. Fleksibilitas: skala dari PLTA sangat fleksibel – variasi PLTA sangat beragam, dari sistem pikohidro (10-20kW) di desa-desa terpencil yang digunakan oleh petani-petani dan nelayan untuk melistriki sistem kecil, hingga pembangkit listrik terbesar di dunia (22,5GW – dapat ditemukan di Three Gorges Dam di Tiongkok) yang dapat membangkitkan hampir 90 ribu TWh per tahunnya.
  2. Andal: PLTA juga memiliki konsistensi dan keandalan atau reliability yang cukup baik bila dibandingkan dengan pembangkit-pembangkit energi terbarukan lainnya. Selain debit air yang lebih mudah diprediksi dan dikontrol, PLTA juga dapat menghasilkan listrik dengan jumlah yang cukup banyak sepanjang tahun. Keandalan inilah keunggulan utama energi air dibandingkan EBT lainnya.
  3. Ekonomis: PLTMH, PLTM, dan PLTA memiliki modal investasi awal yang cukup mahal per megawattnya, sekitar 2 – 2,5 juta dollar AS per MW (dibandingkan dengan PLTS yang membanderol biaya 1 – 1,2 juta dollar AS per MW, atau PLTB dengan 1,6 – 2 juta dollar AS per MW). Namun, karena PLTA dapat menghasilkan air hampir sepanjang tahun dan andal, listrik yang dihasilkan oleh pembangkit jauh lebih banyak dibandingkan dengan pembangkit energi terbarukan lainnya. Karena hal inilah, omset dari penjualan listrik energi air jauh lebih baik dibanding sumber-sumber energi terbarukan lainnya, dan secara umum menjadi lebih menarik secara ekonomis.

Masa Depan PLTA di Indonesia

Sebagai teknologi yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia, perkembangan PLTA diharapkan untuk melambung tinggi dalam beberapa tahun mendatang. Potensi ini didukung oleh produk hukum pemerintah – yang paling baru dengan Peraturan Menteri ESDM No. 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang didalamnya juga mengatur tata cara penyediaan listrik menggunakan EBT termasuk energi air, dan kebijakan pengaturan harga beli tenaga listrik melalui sumber EBT. Sempat memiliki feed-in-tariff yang sangat atraktif bagi pengembang, harga untuk PLTA sudah ada di arah yang tidak lebih membebankan PT PLN dan rakyat. Penandatanganan perjanjian jual beli listrik antara PLN dan Independent Power Producer (IPP) yang paling baru juga mencakup pengembangan PLTMH sebesar 300 MW.

Untuk lebih mengembangkan PLTMH di Indonesia, yang notabene sudah berkembang dengan pesat beberapa tahun terakhir ini, diharapkan akan lebih didukung lagi oleh peraturan-peraturan yang dicanangkan. Dengan kapasitas terpasangnya yang sudah paling besar dibandingkan sumber EBT lainnya di Indonesia, ditambah pula dengan teknologinya yang relatif matang untuk dikembangkan, diharapkan PLTA ini bukanlah hanya suatu warisan zaman kolonial yang dapat dikunjungi seperti PLTA Kracak di Bogor, namun juga dapat menjadi yang terdepan dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

Tidak kalah tuanya lagi, selain pembangkit listrik tenaga air, Indonesia juga sudah lama memakai sumber energi terbarukan tradisional lainnya, yaitu biomassa. Apa itu biomassa dan bagaimana cara kerjanya? Bagaimana potensi kedepannya dan apa tantangan utama yang perlu diperhatikan? Kita akan membahasnya besok, tetap di #15HariCeritaEnergi!

______

Hari keenam dari #15HariCeritaEnergi

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!

Seri Sumber Energi Terbarukan: PLTB tidak layak untuk Indonesia? Ah, kata siapa?

Saat kita berdiri di sebuah pantai, kita biasanya bermain air dan pasir, merasakannya di sela-sela jari kaki kita. Kita pun merasakan tiupan angin yang menerpa muka kita. Terasa sangat menyegarkan, bukan? Sambil berduduk santai, kita pun melihat daun kelapa yang melambai tinggi tertiup angin. Sepintas, terlihat seperti Indonesia memiliki angin yang sangat kuat. Namun, ternyata di kalangan ahli-ahli energi terbarukan, Indonesia sering dianggap remeh karena memiliki angin yang relatif lemah dibanding negara-negara lainnya lho! Terutama jika dibandingkan dengan negara-negara yang terletak jauh di utara dan di selatan, seperti Australia, RRT, dan negara-negara di benua Eropa.

Secara skala besar, memang Indonesia yang terletak dekat dengan garis khatulistiwa memiliki sumber energi angin yang minim. Ini terjadi karena pertemuan angin pasat dari utara dan selatan yang berkurang di garis tropis.

Namun, apakah ini membuat Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (disingkat menjadi PLTB – ingat, PLTA itu pembangkit listrik tenaga air ya, bukan angin!) di Indonesia menjadi tidak mungkin dibangun? Padahal, di artikel sebelumnya disebutkan bahwa sudah ada proyek PLTB yang sedang berjalan yaitu PLTB Sidrap di Sulawesi Selatan. Jika begitu, apakah yang membuat energi angin menarik di Indonesia? Bagaimana sebenarnya cara menghasilkan listrik menggunakan angin?

Cara Kerja Teknologi PLTB Modern

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) umumnya menggunakan turbin angin yang cukup besar dengan tiga baling-baling yang berputar karena tertiup angin. Teknologi yang sudah dikembangkan untuk membangkitkan listrik dari awal abad 20-an ini sudah dapat dikategorikan cukup matang, terutama dibanding dengan sumber-sumber energi terbarukan lainnya, seperti panel fotovoltaik yang digunakan dalam Pembangkit Listrik Tenaga Surya, tenaga laut, dan biogas.  Mari kita lihat diagram dibawah ini untuk lebih mengerti komponen-komponen apa saja yang terdapat dalam sebuah turbin angin.

Diagram sederhana komponen turbin angin (sumber: greenbizcafe.com)

Angin yang bertiup akan menggerakan baling-baling, yang kemudian akan memutar gearbox. Gearbox ini yang kemudian akan memutar generator dan akhirnya menghasilkan listrik. Meski terlihat cukup sederhana dan straightforward, teknologi turbin angin ini terus disempurnakan oleh perusahaan-perusahaan manufaktur turbin angin seperti Vestas, Siemens-Gamesa, Goldwind, dan lain-lain agar lebih efisien mengkonversikan tenaga angin ke tenaga listrik.

Agar lebih mudah terbayang, mari kita simak video dibawah ini!

 

Potensi Sumber Energi Angin di Indonesia

Jika melihat cara kerja turbin angin seperti pada animasi diatas, dapat kita bayangkan bahwa dibutuhkan angin yang kuat dan kencang untuk menggerakan turbin tersebut. Lantas, jika memang angin di Indonesia tidak cukup kencang, kenapa masih ada proyek PLTB yang tetap berjalan, dan kenapa masih ada investor yang tetap mengevaluasi potensi PLTB di Indonesia?

Walau secara umum memang tidak terlalu kuat, namun banyak lokasi-lokasi spesifik yang menyebabkan percepatan angin secara lokal, misalnya penyempitan bukit-bukit dan pegunungan, yang membuat peluang PLTB tetap terbuka. Kemudian, negara kita yang merupakan sebuah negara kepulauan ini juga mendapatkan akses terhadap siklus angin darat dan angin laut yang cukup signifikan dibanding negara-negara lain.

Apa artinya ini bagi pengembangan PLTB kedepannya? Hal ini berarti masih banyak peluang bagi investor untuk melakukan pengukuran dan studi angin yang lebih terfokuskan di lokasi yang lebih spesifik di Indonesia agar lebih dapat mengkalkulasi secara lebih detil kelayakan pembangunan PLTB.

Pemerintah Indonesia nampaknya sudah melihat hal ini, sehingga melalui kerjasama antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Danida, sebuah agensi untuk kerjasama pembangunan dari pemerintah Denmark, lahirlah inisiatif pemetaan angin di seluruh Indonesia. Data angin dengan resolusi tiga km ini dapat diakses melalui website http://indonesia.windprospecting.com/

Perkembangan Energi Angin di Indonesia

Sejauh ini, energi angin yang sudah digunakan untuk menghasilkan listrik berskala sangatlah kecil. PLTB terbesar adalah PLTB yang terletak di pulau Selayar, Sulawesi Selatan dengan turbin rating 2 x 100 kW. Sayangnya, PLTB yang menjadi proyek pilot dari pemerintah dan PLN ini pun sudah tidak berfungsi lagi karena kurang perawatan.

Meskipun demikian, pemerintah terus mendorong perkembangan energi angin di Indonesia, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, proyek PLTB Samas (yang akan menghasilkan listrik sebesar 50MW) yang terletak di Pantai Bantul, Jogjakarta, yang merupakan PLTB skala multi-megawatt pertama telah meraih kesepakatan harga dengan PLN dalam bentuk PPA (Power Purchase Agreement) pada bulan Mei 2015 silam. Tidak lama kemudian, PLTB Sidrap, Sulawesi Selatan (75 MW) yang sekarang sedang dalam proses konstruksi, juga mendapatkan PPA dengan PT PLN pertengahan tahun 2015. PLTB Tolo 1 di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan (60 MW) juga sudah mendapatkan PPA dengan PT PLN dan memasuki fase konstruksi.

Baru-baru ini, dikeluarkan Peraturan Menteri ESDM No. 50/2017 yang merevisi Peraturan Menteri ESDM No. 12/2017, dimana Menteri ESDM Ignasius Jonan sudah membuka peluang dan mendorong investor dan pengembang EBT untuk berinvestasi di zona-zona krisis listrik, seperti NTT, NTB dan Maluku, dengan memberikan harga yang diminati investor (sekitar 14-20 sen USD per kWh). Peraturan ini juga membuka peluang untuk sebuah kompetisi sehat antar pengembang dengan melakukan pemilihan langsung yang dapat menekan harga jual-beli listrik dengan PT PLN agar tidak membebani PT PLN maupun rakyat dan memberikan daya tarik terhadap investor.

Masa Depan Energi Angin

Sudah kita lihat bahwa terdapat proyek-proyek PLTB yang sudah berjalan. Namun, mengingat bahwa pengembangan PLTB memiliki keterbatasan lokasi seperti yang disebutkan diatas, apakah kedepannya nasib potensi energi angin Indonesia tidak dapat dimanfaatkan secara lebih optimal?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, kita dapat menjawabnya dengan menganalisa tren global dalam industry manufaktur turbin angin. Sektor EBT kental dengan riset dan pengembangan yang terus menerus, selalu mencari cara untuk membuat sistem yang lebih efisien secara teknis dan juga secara biaya. Dalam riset sumber energi angin, banyak riset yang dilakukan mendalami tentang bagaimana mendapatkan efisiensi tinggi dengan kecepatan angin yang rendah – misalnya dengan memperbesar ukuran baling-baling untuk menangkap angin yang lebih banyak, dan juga peningkatan ketinggian turbin angin agar dapat menggunakan angin yang tidak terganggu akan daratan. Hal ini lantas tetap membuka pintu bagi pemanfaatan energi angin berkecepatan rendah (atau low wind) seperti di Indonesia. Terlebih lagi, pengembangan rancang desain ini diiringi dengan penurunan harga yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kedua faktor ini meningkatkan keatraktifan pengembangan sumber energi angin dan dapat membuka lahan-lahan baru untuk pengembangan tenaga angin di Indonesia.

Perkembangan teknologi untuk taman angin lepas pantai (off-shore wind farm) juga sedang gencar-gencarnya dikembangkan di negara-negara maju. Dengan potensi angin lepas pantai yang cukup tinggi – bahkan melebihi potensi angin di daratannya – teknologi ini juga bukan tidak mungkin dapat menjadi masa depan energi terbarukan untuk Indonesia.

Jadi, janganlah dahulu menutup mata dari kemungkinan pengembangan energi angin di Indonesia!

 

Esok hari, kita akan mencoba lebih mengerti tentang cara kerja pembangkit listrik tenaga air! Bagaimana bisa air menghasilkan listrik? Simak esok hari, masih dalam #15HariCeritaEnergi!

 

______

Hari kelima dari #15HariCeritaEnergi

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!

Seperti Apakah Potensi Energi Terbarukan di Indonesia?

Kemarin kita sudah melihat bahwa pengembangan energi terbarukan merupakan suatu hal yang sangat mungkin – banyak contoh negara yang telah berhasil mengembangkan potensi energi terbarukan mereka masing-masing. Terlihat juga bahwa dibutuhkan sebuah kerangka kerja yang baik dan efektif agar energi terbarukan dapat berkembang dengan cepat kedalam bauran energi negara-negara tersebut. Kondisi lingkungan yang berbeda di tiap negara berarti masing-masing negara memiliki potensi sumber energi terbarukan yang berbeda – bagaimana dengan Indonesia? Seperti apa potensi energi terbarukan di Indonesia?

Indonesia dikenal dengan negara kaya migas di jaman jayanya dahulu, dengan kilang LNG di Bontang yang merupakan salah satu kilang LNG pertama di dunia yang mulai mengekspor LNG ke luar negeri dan produksi minyak dari lading Minas di Riau yang telah berproduksi sejak tahun 1950-an. Begitu pun dengan EBT – Indonesia memiliki potensi pengembangan energi terbarukan yang amat tinggi. Tabel berikut ini memberikan garis besar potensi energi terbarukan di Indonesia dengan pengelompokkan lima sistem kelistrikan utama sesuai dengan lokasi geografis yang dipublikasikan dalam IRENA REmap 2017.

Tabel 1 Kapasitas Potensi Pengembangan Energi Terbarukan Dengan Reference Case 2030 (Sumber: IRENA REmap 2017)

Dengan total potensi energi terbarukan yang melebihi 700 GW, diatas kertas, Indonesia dapat memasok tiga belas kali lipat dari total kapasitas pembangkit yang sekarang sudah terintegrasi dalam jaringan atau grid, yaitu sebanyak 51,9 GW. Dengan berkembangnya teknologi energi terbarukan yang lebih efisien, potensi yang tertera pada tabel tersebut dapat terus meningkat seiring lebih banyaknya potensi yang dapat diserap oleh pembangkit listrik.

Perlu diingat bahwa masing-masing jenis pembangkit diatas memiliki tantangannya sendiri-sendiri. Misalnya, beberapa sumber-sumber EBT merupakan sumber energi intermittent seperti PLTS dan PLTB, dimana sumber daya yang digunakan dapat berubah sewaktu-waktu dan tidak dapat mengikuti beban. Ada juga tantangan sosial seperti pembebasan lahan, dimana beberapa sumber EBT diatas memerlukan lahan dan izin pakai lahan yang cukup besar.

Melihat potensi energi terbarukan diatas, bagaimana dengan penetrasi energi terbarukan dalam sistem jaringan yang sekarang sudah berdiri di Indonesia? Mengingat kembali bauran energi yang sudah kita bahas sebelumnya, dimana sumber EBT baru menyumbang sebesar 5% dari konsumsi energi total atau hanya 8.5 GW di tahun 2015, pasokan dari energi terbarukan, yang saat ini masih didominasi oleh PLTA dan PLT biomassa, masih sangatlah minim dibanding dengan potensinya. Kendati demikian, pemerintah Indonesia sadar akan hal ini dan sudah berkomitmen di COP21 untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan empat kali lipat dibanding dengan tahun 2014. Dalam usahanya untuk mencapai komitmen ini, sudah ada beberapa proyek-proyek energi terbarukan yang mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah yang sudah ataupun sedang dikerjakan di Indonesia.

Berikut adalah contoh-contoh proyek pembangkit listrik yang menggunakan sumber EBT di Indonesia.

PLTA Cirata

PLTA terbesar di Indonesia, PLTA Cirata sempat menjadi PLTA terbesar di Asia Tenggara sebelum berdirinya PLTA Son La di Vietnam. Dibangun sejak 1984, PLTA Cirata diresmikan oleh Presiden Soeharto pada bulan Mei 1986 dan memulai operasi tahun 1988. PLTA ini memiliki kapasitas total sebesar 8 x 126MW turbin Francis yang diputar menggunakan aliran dam dari waduk Cirata yang dibangun dari aliran sungai Citarum di Purwakarta, Jawa Barat. Pembangkit ini di operasikan oleh anak perusahaan PT PLN, yakni PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) dan dapat menghasilkan energi sejumlah 1,428 GWh per tahunnya, untuk sistem jaringan 500kV Jawa-Bali. PLTA Cirata ini digunakan oleh PT PJB sebagai peaker power plant yang gunanya menopang sistem Jawa-Bali bila terjadi kekurangan daya atau beban yang tiba-tiba meningkat. Meskipun dibangun tahun 1988, ekspektasi umur dari PLTA ini adalah 250 tahun.

PLTS Kupang

Saat penulisan artikel ini, PLTS 5MWp Kupang adalah PLTS terbesar di Indonesia. PLTS yang terletak di desa Oelpuah, di Kupang ini baru diresmikan oleh Presiden Joko Widodo bulan Desember 2015 lalu. Mendapat dukungan penuh dari pemerintah Indonesia, PLTS ini dibangun dengan tujuan utama mengurangi beban Biaya Pokok Penyediaan (BPP) dari jaringan kelistrikan PLN NTT yang saat itu masih terdiri sebagian besar dari PLTD (bertenaga diesel) yang mahal (rata-rata 0.3 L/kWh). PT Len Industri, pengembang dari proyek PLTS Kupang ini merupakan pengembang sekaligus pemasok modul surya dan beberapa komponen Balance of System (BoS) dari pembangkit ini. Dilengkapi dengan lebih dari 22 ribu modul surya, proyek ini menggunakan lahan sebanyak 7.5 hektar. PLTS ini mendapatkan kredit investasi dari bank dalam negeri yaitu Bank Mandiri. Proyek ini menunjukkan kapabilitas bank dalam negeri dalam memberikan investasi untuk proyek-proyek energi terbarukan yang masih relatif tergolong “baru” di Indonesia.

PLTB Sidrap

Mengikuti dua contoh diatas, PLTB Sidrap adalah proyek energi terbarukan dengan skala besar yang dilaksanakan oleh Independent Power Producer (IPP). Walaupun masih dalam tahap konstruksi, PLTB Sidrap yang terletak di Kabupaten Sidenreng Rappang di Sulawesi Selatan ini diharapkan dapat memulai Commercial Operation Date (COD)-nya di awal tahun 2018 mendatang dan mulai memasok listrik yang dihasilkan dari tenaga angin. Setelah mencapai kesepatakan di pertengahan tahun 2015 dengan PT PLN dan kementrian ESDM, PT Sidrap Bayu Energi, yang merupakan anak perusahaan PT UPC Renewables Indonesia mencapai financial closing di awal tahun 2017 dan sudah menjalankan proses konstruksi selama 1 tahun. PT Sidrap Bayu Energi akan menggunakan turbin angin dari Siemens Gamesa Renewable Energy dengan kapasitas 2.5MW per turbin. Dengan total pembiayaan melebihi 100 juta US Dollar, PLTB Sidrap diharapkan memasok 75 MW (30 turbin x 2.5MW) kedalam sistem jaringan transmisi PLN.

Walau sudah ada proyek pembangkit EBT yang berjalan dan sedang berjalan sekarang, dan juga yang direncanakan atau committed, demi mencapai target bauran energi yang direncanakan pemerintah, perlu tambahan proyek-proyek lain dan tentu disokong oleh dukungan pemerintah yang konkrit.

Sebelum kita membahas lebih detil tentang apa saja rencana pemerintah untuk mencapai sasaran pengembangan EBT, kita akan terlebih dahulu memahami lebih dalam mengenai cara kerja pembangkit listrik EBT – bagaimana bisa angin menghasilkan listrik? Bagaimana bisa ombak menghasilkan listrik, bukankah hal tersebut dapat sangat potensial mengingat negara kita yang berbentuk kepulauan? Apa saja tantangan masing-masing sumber energi? Kita akan mulai pertama-tama dengan pembangkit listrik bertenaga angin, tetap di #15HariCeritaEnergi!

______

Hari keempat dari #15HariCeritaEnergi

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!

Realistiskah pengembangan energi terbarukan itu?

Terkadang, membayangkan tentang listrik dihasilkan melalui sumber energi baru dan terbarukan terdengar sangat utopis, terlalu baik untuk menjadi kenyataan. Apakah masa depan dimana mayoritas produksi listrik di dunia dihasilkan melalui sumber EBT hanya sebatas angan-angan?

Di Indonesia, mungkin sumber EBT yang paling sering kita dengar adalah biomassa – yaitu bahan biologis yang seperti tanaman atau hewan yang dapat digunakan sebagai sumber energi. Salah satu contoh biomassa yang paling jamak adalah biofuel atau bahan bakar nabati (BBN), suatu jenis bahan bakar yang diproduksi melalui proses kimiawi atau biologis yang diambil dari tanaman atau limbah. Biomassa dan biofuel contohnya adalah bahan bakar yang diproduksi dari sawit, tebu, karet, kelapa, atau biogas yang terbuat dari kotoran ternak dan sampah kota.

Sumber energi terbarukan primer di masing-masing negara dapat berbeda, tergantung dari potensi masing-masing. Hari ini kita akan melihat contoh-contoh penggunaan dan pengembangan sumber energi terbarukan di negara-negara lain, untuk menjawab pertanyaan apakah realistis membayangkan dan menargetkan perkembangan EBT yang begitu ambisius?

Islandia

Islandia, suatu negara kecil di utara Eropa yang berpenduduk 335 ribu jiwa, memproduksi 100% listriknya dari sumber energi terbarukan. Ya, seratus persen! 73% dari listriknya diproduksi dari tenaga air – dimana pembangkit memanfaatkan pergerakan air untuk menciptakan listrik – dan 27% diproduksi dari energi geothermal atau panas bumi. Memang terdapat banyak sekali gunung api aktif yang terdapat di Islandia, membuka banyak potensi untuk pemanfaatan panas bumi.

Saat digabung dengan sektor transportasinya yang masih mengandalkan bahan bakar fossil sekalipun, pada tahun 2016 masih 82.5% konsumsi energi final di Islandia yang dihasilkan dari sumber-sumber energi terbarukan.[1] Tabel dibawah menunjukkan pergerakan rasio sumber EBT terhadap konsumsi energi final di Islandia. Dapat kita lihat bahwa dari tahun ke tahun, secara umum terdapat peningkatan penggunaan EBT dimulai dari hanya 12.4% di tahun 1940 yang terus meningkat menjadi 82.5% di tahun 2016.

Filipina

Setelah Islandia, Filipina adalah negara penghasil energi geothermal terbesar kedua, dimana pada tahun 2012, 14% dari kebutuhan listrik tercukupi melalui energi geothermal. Di tahun 2012 pula, 15% dari kebutuhan listrik di Filipina diproduksi dari pembangkit listrik tenaga air atau hydro. Salah satu faktor yang mendorong berkembangnya sektor energi terbarukan di Filipina ialah produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah Filipina di tahun 2008 tentang Energi Terbarukan (Republic Act No. 9513), dimana pemerintah memberikan insentif fiskal dan non-fiskal untuk investor yang bergerak di industri energi terbarukan. Insentif tersebut termasuk tax holiday atau periode bebas pajak, depresiasi terakselerasi, pembebasan bea masuk, dan Feed-in Tariff. Dikeluarkannya peraturan dan insentif ini telah berhasil menarik investor – dari tahun 2008-2012, 43 kontrak servis/operasional geothermal ditandatangani dan beberapa proyek geothermal tersebut sudah memasuki masa operasional dan bahkan sudah direncanakan penambahan kapasitasnya.

Republik Rakyat Tiongkok – RRT

RRT mungkin lebih banyak diketahui sebagai negara produsen listrik paling tinggi, dan negara yang penggunaan batubara sebagai sumber energi utamanya amat tinggi. 23% dari total listrik yang dihasilkan melalui batubara di dunia dikonsumsi oleh RRT! Namun, tahukah anda bahwa walau produksi sel Surya di RRT berkembang 100 kali lipat sejak tahun 2005? Investasi di pembangkit listrik tenaga air, angin, surya, dan nuklir naik sebesar 40% dari tahun 2008 ke tahun 2012, yaitu sebesar 200 miliar RMB (sekitar US$ 32 miliar). Investasi ini dapat dilihat hasilnya dimana kapasitas pembangkit listrik tenaga angin (atau disingkat PLTB – pembangkit listrik tenaga bayu) naik lima kali lipat di tahun 2009 – 2013. Investasi ini juga menurunkan biaya produksi turbin dan sel surya, karena skala manufaktur yang semakin besar.

Disadur dari EIA/China Electricity Council yang dilaporkan dalam artikel Nature

Bahkan, jika dilihat dari total listrik yang diproduksi, di tahun 2013 RRT merupakan negara produsen EBT terbesar di dunia dengan 378 GW listrik yang diproduksi, diatas Amerika Serikat yang pada saat itu menghasilkan 172 GW. Walaupun dalam bauran energi final di tahun 2016, sumber energi utama RRT masih merupakan batubara (dengan porsi 62%), RRT menunjukkan progres yang baik dimana proporsi batubara turun dan proporsi EBT naik menjadi 19,7% dari total konsumsi energi RRT.

India

Contoh terakhir yang akan kita bahas adalah India. Menyadari bahwa negaranya rentan terhadap dampak-dampak perubahan iklim seperti naiknya muka air laut yang mengancam banyak penduduk yang tinggal di area pantai dan musim yang tidak menentu yang menyebabkan kegagalan panen, India berkomitmen untuk meningkatkan investasi dalam sektor EBT dalam memenuhi kebutuhan energinya. Berdasarkan Rencana Energi Nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah India di Desember 2016 silam, pemerintah India menargetkan kapasitas pembangkit listrik non-energi fosil (terutama nuklir dan tenaga air) untuk mencapai 20,3% di akhir 2021-2022 dan mencapai 24,2% di akhir 2026-2027 dari bauran energi total, atau kenaikan sebesar 47-55% dari kapasitas yang sudah terpasang sekarang. Dampak peningkatan EBT ini juga dapat secara langsung dilihat di estimasi emisi karbon dioksida, dimana rerata tahun 2015-2016 adalah 0,732 kg CO2/kWh dan diestimasikan turun menjadi 0.581 kg CO2/kWh di tahun 2021-2022.

Bagaimana bisa? Investasi swasta yang disebabkan oleh tingkat daya saing dan kemenarikan investasi. Berdasarkan laporan tahunan “Renewable Energy Country Attractiveness Index” yang dikeluarkan oleh EY, India berada di urutan kedua dalam peringkat negara yang paling menarik sektor EBTnya, menyalip dan menggantikan Amerika Serikat yang turun ke posisi ketiga. RRT menjadi negara yang paling atraktif, dan konsisten dari penjabaran yang telah ditulis sebelumnya.

Hal yang dapat disimpulkan dari empat contoh diatas adalah: ya, masa depan dengan EBT tentulah realistis. Tentu tidak semua negara dapat disamaratakan mengingat perbedaan kondisi dan potensi yang masing-masing negara miliki. Islandia dapat memenuhi kebutuhan listriknya dari tenaga air dan panas bumi disebabkan oleh kebutuhan energinya yang relatif kecil dan potensi yang besar, namun melihat perkembangan EBT di Filipina, RRT, dan India dimana potensi EBT didukung oleh iklim investasi dan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah yang konsisten dengan rencana pengadaan energi jangka panjang.

Pertanyaan berikutnya adalah, lantas, bagaimanakah sebenarnya potensi pengembangan EBT di Indonesia? Sumber energi yang manakah yang paling potensial? Besok kita akan membahas lebih lanjut potensi dan contoh-contoh proyek pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan yang ada di Indonesia, tetap dalam #15HariCeritaEnergi!

______

Referensi

[1] Disadur dari Iceland National Energy Authority (http://www.nea.is/the-national-energy-authority/energy-data/data-repository/)

______

Hari ketiga dari #15HariCeritaEnergi

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!

Energi, “Bahan Bakar” Penggerak Ekonomi dan Pembangunan

Kemarin kita telah membahas tantangan energi Indonesia di masa depan dan pentingnya menjawab tantangan tersebut dengan pola pikir pembangunan dan energi berkelanjutan. Berbagai rencana aksi dan proyek pembangunan pemerintah dikeluarkan untuk menanggapi isu-isu energi. Namun sebenarnya, untuk apa?

Apa pentingnya ketersediaan energi bagi negara, dan apakah taruhannya bagi Indonesia jika kita tidak bisa melihat peranan penting energi dan tidak secara cermat merencanakan kebutuhan energinya?

Jawaban paling mendasar tentu adalah ya, tentu saja, toh kita tidak bisa hidup tanpa energi? Sebagai manusia untuk melakukan aktivitas apapun, kita membutuhkan asupan energi, yang kita dapat dari makanan. Sama halnya dengan industri. Mereka membutuhkan listrik untuk melakukan aktivitas bisnis atau produksi, memerlukan bahan bakar untuk pabrik, dan sektor transportasi membutuhkan bahan bakar agar dapat berjalan. Sumber energi tersebut didapatkan dari berbagai sumber, entah minyak, gas bumi, tenaga angin, tenaga air, dan banyak lainnya. Dalam sektor transportasi, mayoritas dari mobil yang beredar di jalan masih menggunakan bahan bakar fosil (baik BBM maupun BBG), dan hanya 0.1% yang merupakan mobil listrik.

Merupakan sebuah kewajiban negara yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia untuk menyediakan energi bagi rakyatnya, seperti tertulis pada pasal 33 ayat 3 bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan lebih lanjut tertuang dalam Undang-Undang 30 No 2007 tentang Energi.

Peran penting energi dalam kehidupan sehari-hari dan secara makro dapat dilihat dari dampak langsung energi ke aspek lainnya – secara lebih spesifik, kali ini kita akan membahas hubungan antara energi, ekonomi, dan pembangunan manusia.

Energi dan Ekonomi

Mungkin hubungan yang paling mudah dilihat dari sektor energi dan ekonomi adalah kontribusi sektor energi pada PDB atau pendapatan suatu negara. Di Indonesia, misalnya, pada tahun 2015 industri migas berkontribusi secara langsung ke 7.43% pendapatan negara[1] melalui penerimaan negara bukan pajak (PNPB) dan pajak penghasilan (PPh) migas. Dalam kasus yang lebih ekstrim, seperti pada negara-negara pengekspor migas, kontribusi sektor energi jauh lebih besar – di Brunei Darusalam, dimana 90% dari total ekspornya merupakan produk migas, sektor migas berkontribusi sebesar 60% dari total PDB.

Namun, hubungan antara sektor energi dan ekonomi tidak dapat dilihat hanya dari aspek tersebut – sektor energi merupakan input dari semua barang dan jasa dalam ekonomi suatu negara, sehingga ketersediaan dan keterjangkauan energi merupakan salah satu fondasi untuk ekonomi yang kuat.

Energi meningkatkan produktivitas serta menggerakkan roda perekonomian negara, dan untuk mengembangkan suatu industri dibutuhkan sumber energi yang cukup dan reliable. Semakin berkembangnya sebuah negara, semakin tinggi pula energi yang ia butuhkan.

Maka dari itu, mungkin tidak salah jika mengatakan bahwa ketahanan energi nasional sama dengan ketahanan ekonomi nasional.

Selanjutnya, kita juga dapat merangkum hubungan antara konsumsi energi final dan pertumbuhan PDB melalui elastisitas energi, sebuah rasio pertumbuhan konsumsi energi final dengan pertumbuhan PDB pada periode waktu yang sama. Indeks elastisitas energi ini dapat menjadi tolak ukur penggunaan energi yang efisien – indeks elastisitas energi dibawah satu berarti penggunaan energi telah efisien karena untuk meningkatkan 1% PDB negara, hanya dibutuhkan pertumbuhan konsumsi energi dibawah 1%. Saat ini, Indonesia masih belum efisien dalam menggunakan energi, karena indeks elastisitas energi di tahun 2015[2] ialah 1,14%, atau setiap naiknya 1% PDB, konsumsi energi naik sebesar 1,14%.

Hal ini perlu diperhatikan, terutama dalam konteks dan perannya di pembangunan berkelanjutan. Idealnya tentu sebuah negara dapat berkembang ekonominya dan pembangunannya, namun menggunakan energi yang efisien dan bertanggung jawab.

Energi dan Pembangunan Manusia

Energi merupakan sebuah katalisator atau sebuah penggerak, enabler. Tanpa energi, masyarakat mungkin tidak bisa mendapatkan standar hidup yang mumpuni – misalnya tidak adanya listrik dan penerangan melumpuhkan banyak aktivitas di malam hari. Murid sekolah tidak bisa mengerjakan PR-nya di malam hari secara efektif tanpa penerangan yang cukup; kegiatan rumah tangga akan memakan waktu yang jauh lebih lama dan membutuhkan pekerja yang lebih banyak jika tidak dibantu oleh peralatan rumah tangga modern yang memerlukan listrik; tanpa moda transportasi modern, akan sulit bagi pekerja untuk pulang dan pergi setiap harinya.

Salah satu indeks yang sering dijadikan acuan untuk pembangunan manusia adalah Human Development Index (HDI) yang setiap tahunnya dikeluarkan oleh PBB. HDI mengukur berbagai aspek kehidupan misalnya angka harapan hidup, kesehatan, pendapatan, kemiskinan, dan lain-lain. Sebuah studi yang dilakukan oleh Pasternak (2000) melihat hubungan antar HDI dan pemakaian listrik, dimana studi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mencapai nilai HDI 0,9 (nilai HDI negara-negara maju), dibutuhkan konsumsi listrik per kapita minimal 4.000 kWh. Studi ini konsisten dengan angka HDI Indonesia sekarang, yaitu 0,689 dan konsumsi listrik per kapita Indonesia sebesar 965 kWh.

Bagaimana menginterpretasikan figur-figur tersebut? Mudah saja, mari kita coba aplikasikan ke skenario sehari-hari. Di saat masyarakat masih belum memiliki akses ke energi, mereka harus mengandalkan sumber energi tradisional atau biomassa seperti arang batok kelapa. Pembakaran arang tersebut menghasilkan asap yang berbahaya bagi kesehatan, dan dapat menimbulkan ISPA. Dikarenakan pekerjaan rumah tangga yang tidak efisien akibat tiadanya listrik dan di beberapa kasus ekstrim diperlukan juga waktu dan usaha untuk mencari kayu bakar, waktu yang dapat dipakai untuk aktivitas produktif terbuang, mengakibatkan pendapatan rumah tangga menjadi berkurang.

Diversifikasi energi untuk ketahanan energi nasional

Berdasarkan paparan di atas, sudah jelas bahwa karena dampaknya yang berbanding lurus dengan ekonomi dan juga pembangunan manusia, pemerintah harus menaruh perhatian penuh pada energi dan perencanaannya. Jika tidak, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, ketahanan ekonomi nasional, dan daya saing nasional menjadi taruhannya.

Melihat peran penting energi, bukan lagi sebuah pertanyaan apakah perlu menjaga ketersediaan dan keterjangkauan energi. Namun, mengingat bahwa sumber energi fosil terbatas dan bukanlah sebuah sumber energi berkelanjutan, terutama karena emisi dan dampaknya terhadap perubahan iklim, pemerintah perlu mencari sumber energi baru dan melakukan diversifikasi energi yang dapat dilakukan dengan serius mengembangkan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) dalam rangka memenuhi kebutuhan energi dan menjamin ketahanan energi nasional.

Lantas, apakah realistis membayangkan Indonesia dialiri listrik yang dihasilkan dari sumber energi baru dan terbarukan? Seperti apakah contoh negara-negara lain yang bauran energinya didominasi oleh EBT? Kita akan membahasnya lebih lanjut besok, tetap di #15HariCeritaEnergi!

 

___

Referensi

[1] Berdasarkan APBN-P 2015, perbandingan total jumlah PNPB Migas dan PPh Migas dibandingkan dengan pendapatan total. Olahan lebih lanjut oleh penulis.

[2] Berdasarkan RUEN 2017

 

___

Hari kedua dari #15HariCeritaEnergi

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!

Energi Baru & Terbarukan: Sebuah Jawaban untuk Tantangan Energi Indonesia Mendatang?

Indonesia, 2017. Tepat berulang tahun yang ke-72 hari ini. Terdapat 260 juta penduduk di negeri kepulauan kita yang terdiri lebih dari 14 ribu pulau ini, dimana setengah dari populasi tinggal di daerah perkotaan dan setengahnya lagi tinggal di pedesaan. Sekitar sepuluh persen dari populasi tersebut, atau enam juta rumah tangga, masih belum mendapatkan akses listrik. Kita dengan nyamannya membaca tulisan ini, kemungkinan besar berada di sebuah ruangan yang suhunya dengan nyaman diatur melalui sebuah unit AC, mungkin dengan sebuah speaker yang melantunkan musik dan charger handphone yang sudah siap sedia tercolok di steker, alih-alih baterai handphone kritis tinggal 10% – di sisi lain, masih terdapat penduduk Indonesia yang masih harus tergantung kepada sumber-sumber energi atau pencahayaan tradisional seperti pelita dan petromax yang menggunakan paraffin atau minyak hewani, dan briket arang untuk kegiatan sehari-harinya.

95% dari kebutuhan energi Indonesia masih dipenuhi melalui bahan bakar fosil (RUEN 2017), terutama dari minyak bumi. Dalam aspek bauran energi, kita masih dibawah rerata dunia dimana sekarang sekitar 80% energi global berasal dari bahan bakar fosil (World Energy Outlook 2016). Perlu diingat bahwa bahan bakar fosil merupakan sumber energi yang tidak terbarukan – jumlah cadangannya akan terus menurun seiring dengan berjalannya waktu.

Dengan bertumbuhnya ekonomi dan popoulasi Indonesia, tentu kebutuhan energi meningkat pula. Melihat laju pertumbuhan populasi yaitu 1.3% per tahunnya, dan pertumbuhan ekonomi 5-7%, menjadi sebuah pertanyaan tentang bagaimana negara kita ini akan menjawab tantangan penyediaan energi baik di masa sekarang dimana masih banyak penduduk yang belum dapat secara penuh menikmatinya dan di masa depan – dapatkah kebutuhan energi kita terpenuhi untuk mendukung pertumbuhan populasi dan ekonomi?

Terlebih lagi, pemenuhan kebutuhan energi tersebut haruslah direncanakan dengan pola pikir energi berkelanjutan – sebuah pola pikir dimana kita dapat memenuhi kebutuhan energi kita saat ini namun tidak mengurangi kemampuan anak cucu kita untuk memenuhi kebutuhan energi mereka sendiri nantinya, atau membahayakan kehidupan mereka.

Sebuah isu yang erat hubungannya dengan energi dan pembangunan berkelanjutan ialah pemanasan global dan perubahan iklim – tentu bukan sesuatu yang asing lagi bagi kita. Sering kita mendengar pemanasan global dan perubahan iklim disana-sini, bagaimana hal tersebut akan menjadi sebuah bencana besar! Terkadang pembahasannya dapat terdengar sangat ilmiah dan merupakan pembahasan tingkat tinggi yang sepertinya bukan sebuah isu yang cocok untuk dibicarakan sehari-hari dengan teman sembari menikmati kopi – namun tahukah anda bahwa dampak perubahan iklim tersebut dirasakan oleh semua orang tanpa terkecuali?

Bahwa ialah salah satu sebab mengapa musim semakin tidak menentu, perubahan curah hujan membuat banyak petani di Indonesia mengalami gagal panen? Bahwa kenaikan suhu air laut dalam jangka panjang dapat mempengaruhi jumlah ikan yang tersedia untuk nelayan-nelayan kita? Belum lagi mereka harus beradaptasi terhadap kondisi cuaca ekstrim yang akan lebih sering terjadi karena perubahan iklim. Kenaikan muka air laut juga akan berdampak bagi daerah-daerah pantai dan pulau-pulau kecil – di tahun 2100 tidak lagi kita dapat mengunjungi rumah para Laskar Pelangi di Pulau Belitung atau pergi berlibur ke Nusa Penida karena pulau-pulau tersebut merupakan dua dari 115 pulau yang akan hilang sepenuhnya di tahun 2100 jika kenaikan muka air laut tetap pada laju saat ini (Susandi, dkk, 2008). Bahkan, di tahun 2030 bandar udara Soekarno Hatta akan mulai tergenang air laut, dan terlebih lagi pada tahun 2050, 24.3% dari luas Jakarta akan dibanjiri air laut (Hadi, Susandi et al., 2007)!

Melalui komitmen-komitmen dan rencana aksi yang tertuang dalam berbagai dokumen resmi negara dan ratifikasi Indonesia dalam konvensi internasional seperti United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Protokol Kyoto, dan Paris Agreement, maupun produk hukum seperti UU 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, pemerintah telah menyadari pentingnya memasukkan penurunan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim dalam merancang perencanaan penggunaan dan penyediaan energi di masa depan.

Lantas, dihadapi oleh tantangan pemenuhan kebutuhan energi yang kian meningkat, distribusi energi yang tidak merata, ditambah diperlukannya suatu rencana dan aksi konkrit untuk meminimalkan dampak perubahan iklim, mampukah kita sebagai sebuah negara menghadapi tantangan tersebut, dan seperti apakah potret energi Indonesia di masa depan?

Day1 Energy Mix.png
Bauran energi berdasarkan RUEN 2017 (olahan lanjutan oleh penulis)

Sasaran bauran energi yang ingin dicapai oleh pemerintah tertuang dalam Buku Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) 2017 yang secara hukum ditetapkan melalui Peraturan Presiden No 22/2017. Jika pada tahun 2015, 95% dari sumber energi primer merupakan energi fosil, ditargetkan pada tahun 2025 angka tersebut turun menjadi 78% dan menjadi 69% di tahun 2050. Dapat dilihat bahwa pemerintah menargetkan perkembangan energi terbarukan yang sangat signifikan di delapan tahun mendatang ini, sebagai salah satu jawaban atas tantangan-tantangan energi yang telah disebutkan diatas.

Energi baru dan terbarukan, yang disingkat menjadi EBT, merupakan sumber energi yang dihasilkan dari proses alam yang berkelanjutan dan berasal dari sumber daya yang dapat diperbaharui – misalnya tenaga surya, angin, dan geothermal. Selain sumbernya yang berkelanjutan, sumber energi ini juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih sedikit dari bahan bakar fosil, atau tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca sama sekali, sehingga dapat pula menjawab dan mencegah permasalahan lanjut yang timbul akibat perubahan iklim.

Pertanyaan selanjutnya ialah, apakah realistis sasaran bauran energi yang ditargetkan oleh pemerintah? Apakah kita berada di jalan yang benar dalam rangka mencapai bauran tersebut, dan secara lebih lanjut, ke arah pembangunan energi berkelanjutan?

Dalam 15 hari kedepan, kita akan membahas lebih dalam bagaimana kondisi sektor energi dan ketahanan energi Indonesia saat ini, apa saja potensi yang Indonesia miliki untuk pengembangan EBT, bagaimana perkembangan sektor energi terbarukan di Indonesia maupun tantangannya, dan banyak lagi. Beberapa “mitos” dan salah kaprah seputar energi dan EBT akan juga dikupas! Tentu rangkaian tulisan ini adalah ruang untuk berdiskusi, sehingga jika ada pertanyaan, sanggahan, atau koreksi, sila berikan komentar!

Esok hari kita akan membahas sebuah pertanyaan mendasar — apa sebenarnya pentingnya energi untuk Indonesia? Hanya sebuah komoditas dan sumber devisa negarakah? Apa dampak langsung energi pada ekonomi secara makro?

 


Hari pertama dari #15HariCeritaEnergi

Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!

 

On What it Means to be a Modern-Day Kartini

A modern day Kartini is much more than wearing a beautiful kebaya and batik — it is about how we challenge the norms and status quo.

To a lot of us Indonesians, Kartini Day is identical to “kebayaan” or dressing up in traditional costumes. This is only natural, because back in primary school, today was the moment our moms went out and about looking for traditional costume rentals to win us our little trophies.

But do we really know who our Mother, Raden Ajeng Kartini is? What made her so famous that a day is dedicated for her? What were the messages that she brought and are they still relevant today?

Raden Ajeng Kartini was born today, 137 years ago in Jepara. Born in the colonial age where class systems were still in place, she was part of the Javanese aristocrat. Being an aristocrat, she had the privilege to attend a Dutch language primary school, unlike the less-privileged children of her time. Sadly, as a girl, she was not as privileged as her male peers in receiving education. It was not the norm for girls to continue their education, and Kartini had to stop hers at the age of 12 when she had to be secluded at home until she got married (in an arranged marriage where she could be the second or third wife of a man she doesn’t know!). With her knowledge of Dutch, she wrote letters to her penpals in the Netherlands about how she wished to have the freedom to learn and receive education, and not just bred and prepared for arranged marriages. These ideas then influenced how native Indonesian women were perceived, and was seen as one of the rise of the women’s emancipation movement in Indonesia.

Girls today are much more privileged than the girls of Kartini’s time – I had finished my bachelor’s degree, and in fact, in 2013, Indonesia’s female school participation rate is higher than male1 and there are more female students than male in university2. We can also see girls age 12 and above strolling around the city instead of being secluded at home for arranged marriages. So, case closed, right? We’re already jumping in joy at the finish line, right?

Not so much.

Although we receive better education and opportunities are relatively wider, we are not quite there yet in terms of equal opportunity and equality among genders. The fact is, despite the higher number of school participation rate, there are more men in the workforce than women in Indonesia3. Even more, globally, women do less paid work than men and conversely, spend more time on unpaid work than men do. Out of the 34 coordinating ministers and ministers in the Kabinet Kerja, only eight are women. A 2012 McKinsey report reported that as we go up the corporate ladder, the number of women in the room significantly diminishes, reaching only at 3% serving as CEOs in corporate America. In the US in 2014, women were typically paid just 79% of what men were paid4, meaning that there is a gap of 21% in the pay gap. In Indonesia, the numbers are more encouraging. Based on Qerja’s findings, the average gender pay gap is at 12.36% – women are paid 87.64% of what men were paid (this varies across industries – with utilities & energy having the highest gap, followed by mining, oil & gas).

These gaps – leadership gap, pay gap, unpaid work – and many other gaps are the reality that we are having now. But aren’t girls equally talented to boys? After all, there are more female university graduates than male, right? Are they simply not fit to work? Don’t they have the same opportunity as boys? Do we give the same opportunity to both boys and girls, conscious and unconsciously?

Well, we can trace this back to how we were raised as boys and girls.

As a typical Indonesian girl born in the 90s, as a kid, I played a lot outside – tak benteng, cap jongkok, petak umpet. I also played congklak, and when I grew a little bit older, I started playing with my Barbie dolls and had a mini tin-stove to play cook. When I play with my Barbie gardening set, my twin brother is competitively playing a game of Crash Bandicoot and Tamiya. As I grow older, my male friends spent their recess playing a game of football while us girls watch or stay in our classrooms playing bekel and roleplaying. If you notice, boy’s games have a more hierarchical structure and assignment of roles – there is the captain, vice-captain, goalkeeper, and others. Girl’s games, on the other hand, most often do not. We are accustomed to sharing – we take turns. These habits internalize: I am supposed to wait and share, and thus everyone expects me to do so. It becomes the norm to do such.5

In the professional context, these different set of “rules” and norms between genders lead to a multitude of impact. In a personal case, my habit of waiting and giving way for others led to me sitting on the back seats of a meeting room – not at the table. Interestingly, this is also one of the observations that Sheryl Sandberg made in her book, Lean In: us girls, we don’t sit at the table. In meetings, I personally prefer to wait for other people to finish their sentence, wait for a couple of seconds, before I proceed in giving out my ideas which I phrase in question/asking for confirmation – apparently, learning from a Pat Heim video, I understood that this is not the “rule of the game” in men where men tend to interrupt and have a declamatory voice.Those differences are not wrong, after all, it’s human nature and we are shaped by how the world around us works. However, these unconscious bias could negatively affect how we interact with others, especially those of the opposite gender, as we have different norms and “rules” of the game.

The different expectations put on girls as a child that we internalize – “you have to smile”, “we have to look good and approachable”, “we have to nurture” as opposed to “man up – don’t show emotions!”, “boys have to be strong!”, “alpha male!” – also affect how we see the two genders. An ambitious girl is seen as bossy and is less likeable than an ambitious boy6. Many internet people go to the extent of thinking girls should only make sandwich (whether said jokingly or not), that it’s a highly popular meme. These expectations, norms, and stereotypes then impact how women are treated – and how they treat themselves – in latter stages of their lives, at the workplace, at home, in their communities.

All of this is happening in a world where supposedly we are giving equal, unbiased opportunity and treatment to both genders.

But why do we need a more level playing field between the two genders?

Logically speaking, a fairer world doesn’t hurt anyone. Let’s take a look the impacts if we end the gender pay gap: for businesses, paying workers fairly boosts morale and improves perception towards the company; for the women, well, we get paid what we deserve; and for the men, well, you get paid the same, so no changes for you. Everyone’s happy.

Having more women in leadership position, whether in corporations or in the government, helps. As presented above, we have different set of rules and norms. If the senior positions are dominated by men, who constitute half of the population, only half the population’s concerns and issues are being represented. That’s only half of the potential solutions and answers being brought up. We need different points of view, and having more diversity in the leadership position helps that.

On top of that, a Peterson Institute study shows that going from having no women in leadership positions to a 30% female share is associated with a one-percentage-point increase in net margin.

By looking past gender bias and appraising someone solely based on their own performance, we can have the right person for the job – not the right man for the job, not the right woman. It makes sense both for the employer and the employees. Equal opportunities don’t hurt anyone.

As an individual, what can we do?

First and foremost: recognizing. Recognizing that there are different norms and set of rules. Recognizing that there are indeed unconscious bias and stereotypes in our everyday decision making. Recognizing that there are still, and always will be, room for improvements. By having the awareness, we can step back before we make a decision and assess whether there were nasty biases that came into play.

Secondly, but as importantly, all of us have to participate in this. This is not a zero-sum game; no one wins and no one loses. In order to make it work, we have to work hand in hand: girls and girls, girls and boys, boys and boys.

Unknowingly, us girls can be the most vile commenters to each other – it is very easy for us to dismiss, disregard, and disrespect others. Working moms to stay-at-home moms, those who choose to marry at a young age and those who wait, career-driven women and housewives: we comment and sneer on each other a lot. We made decisions based on our own judgments, we should respect differences. The decisions we made in life, in our career and marriages, don’t make us less of a woman – they shouldn’t make us less of a woman.

And boys are vital in the equation too: making up roughly 50% of the population, even with all girls making it work, we’re still short of half of the population. This is homework for both of us. Kartini wouldn’t have been able to gain as much education as she did and learned Dutch if not for her supportive father. Kartini’s husband allowed her to pursue her aim of creating a school for women. Remember, this is not a zero-sum game.

RA Kartini is celebrated for her ideas that were beyond her time, she challenged the norms. These things that were the norm back then are completely obsolete now. Being a modern-day Kartini is not simply dressing up in beautiful kebaya and matching batik, it is having the spirit to see whether the norms and conditions that we have now have to be challenged and improved.

Looking back a hundred years ago, we would laugh at the fact that girls can only go to school until the age of twelve. Hopefully, in fifty years time, or even sooner, our child and grandchild will look back at us, laugh, and say “funny, back then, they thought girls were not supposed to be leaders”.

Selamat Hari Kartini.

 

Footnotes and references

1Based on Badan Pusat Statistik data, in 2013, School Participation Rate (Angka Partisipasi Murni) in girls at Junior High School and High School level are higher than boys’. The chart below is processed further from BPS data:

School-Participation-Rate-2013

2Based on the Ministry of Research, Technology, and Higher Education, there is a total of 2,556,601 active female university students as compared to 2,275,727 active male university students.

3Based on the Ministry of Manpower, the total workforce by gender is 72,150,588 men compared to 42,668,611 women. This can be further diced to different types of workers where most of the work done by men are construction work and farming/fisheries, whilst the only type of work where there is more women than men workforce is professional work, technician, and similar work.

4Based on The American Association of University Women’s The Simple Truth about the Gender Pay Gap Spring 2016. Read their entire report here.

5This fascinating realization came to me from a Pat Heim video during one course I attended on Gender in the Workplace.

6As read in Sheryl Sandberg’s Lean In, Chapter 3, from an experiment by Francis Flynn, then a professor in Columbia Business School and Cameron Anderson, then a professor in New York University, where they tested to students to react to a same successful business case, but with a change of name (a story with Heidi as the character and one with Howard as the character). The students reacted more positively to Howard than Heidi despite the story being completely the same but the name.